Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) mendesak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) untuk segera menerapkan pelabelan bisfenol A (BPA) pada air minum dalam kemasan, termasuk galon guna ulang. Dalam sebuah forum yang diselenggarakan oleh detikcom, Ketua KKI David Tobing menyatakan pentingnya regulasi ini untuk memberikan informasi yang jelas kepada konsumen mengenai bahaya BPA, suatu zat kimia yang dikenal berpotensi mengganggu kesehatan. Penerapan label peringatan diharapkan dapat dilakukan dalam waktu dua tahun, yaitu pada tahun 2026, setelah pengumuman regulasi oleh BPOM pada April 2024.
“Berdasarkan riset yang kami lakukan di lima kota besar dengan hampir 500 responden, kami menemukan bahwa masyarakat perlu mengetahui status BPA dalam produk yang mereka konsumsi. Oleh karena itu, sosialisasi mengenai peraturan ini sangat krusial,” jelas David. Dia menekankan bahwa hak konsumen untuk memilih harus dipenuhi, dan penetapan dua tahun sebagai waktu implementasi merupakan langkah yang wajar.
Peraturan yang berkaitan dengan pemberian label peringatan BPA tertuang dalam Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024. Dukungan terhadap implementasi regulasi ini juga datang dari Ketua Umum Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), Nia Umar. Ia menilai pemerintah perlu mempercepat langkah ini sebagai bentuk perlindungan untuk konsumen, khususnya bagi pengguna galon guna ulang yang berjumlah besar di Indonesia.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, sekitar 40,64 persen dari populasi Indonesia menggunakan air kemasan, termasuk galon guna ulang. Nia mengingatkan bahwa risiko kesehatan akibat BPA tidak dapat dianggap remeh. “BPA itu seperti polusi yang tidak terlihat. Ketika dikonsumsi dalam jangka panjang, dapat menimbulkan risiko kesehatan yang serius,” ujarnya.
Nia menambahkan bahwa seharusnya pemerintah bertindak sebagai pengatur untuk industri galon guna ulang. Ia mempertanyakan kenapa negara lain bisa melarang penggunaan BPA dalam kemasan untuk makanan dan minuman, sementara di Indonesia masih terdapat kendala untuk melakukan hal yang sama. “Hidup kita sudah sangat kompleks. Mengapa kami harus memikirkan tentang galon mana yang bebas BPA? Ini seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk melindungi masyarakat,” tegasnya.
Sebagai langkah praktis, Nia mengusulkan pemasangan stiker bertuliskan “mengandung BPA” pada galon guna ulang. Ia berpendapat bahwa jika hanya dengan menempelkan stiker saja, industri tidak seharusnya kesulitan, mengingat banyaknya sumber daya yang mereka miliki. “Butuh waktu dua tahun untuk pemasangan stiker saja? Ini seharusnya tidak sulit,” tambahnya.
Keberadaan label berisikan informasi tentang BPA pada kemasan makanan dan minuman tidak hanya penting bagi kesehatan, tetapi juga memberikan kekuatan kepada konsumen untuk membuat pilihan yang lebih bijak dalam keseharian mereka. Dengan data dari KKI dan dukungan dari AIMI, sangat jelas perlunya langkah konkret dari pemerintah dan industri untuk menjalankan regulasi yang mengutamakan keselamatan dan kesehatan masyarakat.
Menghadapi tantangan ini, konsumen tentu berharap agar pemerintah dapat segera mempercepat implementasi pelabelan yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya zat berbahaya seperti BPA, yang dapat tersembunyi di balik kemasan produk sehari-hari. Kesadaran akan kesehatan harus menjadi prioritas utama, tidak hanya untuk saat ini, tetapi juga untuk generasi mendatang yang akan menggunakan produk tersebut.