Penyanyi asal Iran, Tataloo, yang dikenal dengan nama asli Amir Hossein Maghsoudloo, baru-baru ini dijatuhi vonis hukuman mati setelah terbukti melakukan penistaan agama dengan menghina Nabi Muhammad. Keputusan ini merupakan hasil dari persidangan yang dilakukan pada Minggu (19/1) kemarin setelah kasusnya dibuka kembali oleh Jaksa. Sebelumnya, Tataloo telah menerima vonis hukuman penjara selama 10 tahun dan sudah ditahan di Iran sejak Desember 2023, akibat diekstradisi dari Turki berdasarkan permintaan pemerintah Iran.
Hukuman mati untuk Tataloo menjadi salah satu kasus yang mencuat di tengah sorotan dunia mengenai pelanggaran hak asasi manusia di Iran. Pemerintah Iran menuduhnya melakukan pelanggaran hukum berat, termasuk promosi prostitusi, propaganda anti-rezim, serta penyebaran konten yang dianggap cabul. Tataloo yang dikenal sebagai musisi underground, menggabungkan unsur pop, rap, dan R&B dalam karya-karyanya, mulai dikenal luas di kalangan pemuda Iran setelah merilis lagu-lagu di blog pribadinya.
Meskipun vonis ini bersifat sementara dan Tataloo masih memiliki hak untuk mengajukan banding, banyak pihak menganggapnya sebagai upaya untuk membungkam suara kritik terhadap pemerintahan Iran. Sarah Johnson, direktur Human Rights Watch untuk kawasan Timur Tengah, mengungkapkan, “Kasus ini menunjukkan bagaimana sistem peradilan Iran digunakan untuk membungkam kritik dan intimidasi terhadap seniman serta tokoh publik.”
Karier musik Tataloo dimulai ketika ia masih mendukung pemerintah Iran, bahkan pernah merilis lagu untuk mendukung program nuklir. Namun, seiring dengan waktu, karya-karyanya berubah menjadi kritik yang tajam terhadap pemerintah, yang menjadikannya sebagai target rezim. Masyarakat mengenalnya sebagai rapper yang memiliki segudang penggemar, meskipun pemerintah tidak mengakuinya secara resmi. Tataloo sempat disorot oleh majalah Time sebagai rapper yang memiliki pengikut loyal di kalangan pemuda, menandakan dampak yang cukup signifikan dari karya-karyanya.
Kasus vonis mati ini juga datang di saat meningkatnya penggunaan hukuman mati di Iran. Laporan dari PBB menyatakan bahwa pada tahun 2024, jumlah eksekusi yudisial di Iran telah mencapai 901, tertinggi dalam sembilan tahun terakhir. Masyarakat internasional, termasuk organisasi hak asasi manusia, mengkhawatirkan tren ini dan mendesak pemerintah Iran untuk menghentikan praktik hukuman mati yang semakin meningkat.
Dalam konteks lebih luas, berbagai pihak menyuarakan kepedulian terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi di Iran. Reaksi keras mengecam keputusan pengadilan tersebut mengemuka dari berbagai kalangan, menuntut adanya perlindungan bagi seniman dan kebebasan berekspresi. Pada saat yang sama, komunitas internasional memantau perkembangan kasus ini dengan harapan agar keadilan dapat ditegakkan.
Dengan situasi yang terus berkembang, perhatian terhadap Tataloo dan keputusan pengadilan ini akan terus menjadi sorotan utama. Dukungan dari masyarakat internasional dan gerakan untuk kebebasan berekspresi tampaknya akan berlanjut, seiring dengan meningkatnya kesadaran global mengenai pelanggaran hak asasi manusia di Iran. Vonis hukuman mati ini tidak hanya berdampak pada Tataloo, tetapi juga menjadi refleksi dari kondisi kebebasan sipil dan hak asasi manusia yang tengah mengalami tantangan di negara tersebut.