Perang Saudara 4 Hari di Latakia: Eksekusi Publik dan Rezim Assad

Perang saudara yang terjadi selama empat hari di wilayah Latakia, Suriah, telah menimbulkan keprihatinan mendalam terhadap stabilitas dan keamanan penduduk setempat. Pertarungan ini bukan sekadar pertikaian antara dua kelompok bersenjata, tetapi sebuah upaya berskala besar untuk membersihkan sisa-sisa rezim Assad yang kini berada di ambang kejatuhan. Dalam sepekan terakhir, laporan dari berbagai sumber menyoroti insiden mengejutkan, termasuk eksekusi di depan umum, penculikan, dan berbagai tindakan kekerasan lainnya.

Pada tanggal 6 Maret, pasukan pemerintah Suriah dikerahkan ke sejumlah kota pesisir, termasuk Latakia, Banias, Tartous, dan Jableh, untuk melawan yang mereka sebut sebagai “sisa-sisa rezim” pro-Assad. Dalam beberapa hari setelahnya, kerusuhan mulai melanda wilayah tersebut, dengan adu senjata antara pasukan keamanan dan kelompok bersenjata yang mengklaim loyalitas kepada rezim lama. Diketahui bahwa mereka yang terlibat dalam pertempuran ini adalah bekas pejuang rezim yang menolak transisi kekuasaan yang saat ini terjadi.

Tanpa peringatan sebelumnya, pertempuran tersebut mengakibatkan sedikitnya 16 anggota pasukan keamanan tewas akibat serangan yang dilakukan orang-orang bersenjata pro-Assad. Menurut laporan Syrian Observatory for Human Rights (SOHR), jumlah kematian telah mencapai lebih dari 1.311 orang, yang terdiri dari sekitar 830 warga sipil, 230 angkatan bersenjata, dan 250 pejuang pro-rezim. Angka-angka ini mencerminkan dampak langsung dari konflik yang kian mencekam.

Kehadiran kelompok bersenjata di wilayah pesisir, yang sebagian besar merupakan populasi Alawite, menunjukkan kekhawatiran mendalam akan kemungkinan serangan balas dendam terhadap komunitas ini. Latakia dan Tartous, sebagai dua provinsi utama yang menjadi benteng al-Assad, mengalami guncangan hebat mengingat adanya upaya sistematis untuk merusak stabilitas yang telah dibangun selama bertahun-tahun.

Berbagai tindakan kekerasan yang dilaporkan termasuk eksekusi di tempat publik. Video yang beredar di media sosial menampilkan kelompok bersenjata yang mengumumkan pembentukan unit untuk melawan pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok lain, menambah kompleksitas situasi yang sudah rumit. Masyarakat pun kini terperangkap dalam ketakutan, merasa bahwa keamanan mereka terancam oleh berbagai tindakan kekerasan yang terus berulang.

Anggota komunitas Alawite melaporkan adanya insiden penculikan dan pelecehan oleh kelompok bersenjata yang mengaku sebagai pembela komunitas tersebut. Banyak penduduk setempat mengaku merasa terancam, dengan satu warga yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan, “Saya tidak pernah keluar dan saya bahkan tidak membuka jendela… Tidak ada keamanan di sini. Tidak ada keamanan bagi orang Alawi.”

Sebagai respons terhadap situasi ini, Presiden sementara Suriah, Ahmed al-Sharaa, mengumumkan pembentukan dua komite baru yang ditujukan untuk menangani krisis yang terjadi, termasuk sebuah komite independen untuk menyelidiki serangan yang terjadi pada 6 Maret. Melalui pidatonya, al-Sharaa menekankan pentingnya persatuan nasional dan berjanji untuk mengejar mereka yang bertanggung jawab atas kekerasan.

Dalam berbagai laporan, kondisi di wilayah pesisir yang menjadi pusat konflik kini dipenuhi kengerian, dengan masyarakat berjuang untuk hidup dalam keadaan mengkhawatirkan. Situasi ini bukan hanya mengancam selamatnya warga sipil, tetapi juga menandai ketidakpastian masa depan bagi Suriah pascarezim Assad. Diperlukan langkah strategis dan kebijakan yang hati-hati untuk menghadapi potensi ancaman yang semakin besar dan kompleks di tanah yang telah lama dilanda konflik ini.

Berita Terkait

Back to top button