Peringatan keras datang dari Liga Arab mengenai rencana ambisius Presiden AS Donald Trump terkait Gaza, yang dipandang sebagai ancaman serius terhadap stabilitas kawasan Timur Tengah. Dalam sebuah pernyataan di KTT Pemerintah Dunia yang berlangsung di Dubai, Sekretaris Jenderal Liga Arab, Ahmed Aboul Gheit, menekankan bahwa jika Trump melanjutkan rencananya untuk mengambil alih Gaza dan melakukan pemukiman kembali penduduk Palestina, hal tersebut diperkirakan akan memicu ketegangan baru yang membawa dampak merusak bagi perdamaian.
Secara khusus, rencana Trump untuk menjadikan Gaza sebagai “Riviera Timur Tengah” dengan memukimkan lebih dari 2 juta warga Palestina di wilayah tersebut telah menuai kecaman luas dari masyarakat internasional. Aboul Gheit menegaskan bahwa inisiatif ini tidak hanya akan menghancurkan gencatan senjata yang rapuh antara Israel dan Hamas, tetapi juga berpotensi membawa konflik yang lebih luas di wilayah regional. “Jika situasi meledak secara militer sekali lagi, semua upaya gencatan senjata ini akan sia-sia,” katanya.
Kekhawatiran yang dirasakan oleh warga Palestina mendalam, terutama dengan latar belakang perang yang berkepanjangan di Gaza dan peristiwa “Nakba” yang dialami pada tahun 1948, di mana banyak pengguna terpaksa meninggalkan rumah mereka. Pada bulan Oktober 2023, serangan udara Israel yang melanda Gaza menciptakan krisis kemanusiaan yang mendalam. Terlebih lagi, Trump memberikan pernyataan bahwa warga Palestina tidak memiliki hak untuk kembali, yang semakin memperburuk situasi.
Pada saat yang sama, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menegaskan akan mengakhiri gencatan senjata jika Hamas gagal membebaskan sandera menjelang batas waktu yang ditentukan. Di sisi lain, Hamas juga telah menyatakan komitmennya terhadap gencatan senjata namun menuduh Israel melanggar kesepakatan yang telah ada. Dengan kekhawatiran meningkat, banyak yang meramalkan bahwa ketegangan ini dapat menjurus pada kembali terjadinya konflik berskala lebih besar di kawasan.
Sekretaris Jenderal Dewan Kerjasama Teluk, Jasem al-Budaiwi, juga menyatakan keprihatinan terkait rencana Trump tersebut dengan menggambarkan hubungan kuat antara negara-negara Arab dan Amerika Serikat. Ia menyampaikan bahwa penting bagi Trump untuk memperhitungkan pandangan dunia Arab, yang jelas menolak proposal tersebut. “Apa yang dia katakan tidak akan diterima oleh dunia Arab,” paparnya.
Beberapa negara, seperti Yordania dan Mesir, juga menolak usulan Trump terkait pemukiman kembali warga Palestina di wilayah mereka. Mesir bahkan telah merencanakan pertemuan puncak darurat Arab untuk membahas perkembangan serius terkait situasi di Gaza, yang dijadwalkan pada tanggal 27 Februari mendatang.
Di tengah situasi yang memanas ini, Aboul Gheit mengungkapkan kesediaan untuk menghidupkan kembali Prakarsa Perdamaian Arab 2002, yang menawarkan normalisasi hubungan antara negara-negara Arab dengan Israel sebagai imbalan atas penarikan Israel dari wilayah-wilayah yang dianeksasi. Rencana Trump kini telah merusak kebijakan AS yang selama ini mendukung solusi dua negara sebagai jalan keluar dari konflik berkepanjangan ini.
Sementara itu, proses gencatan senjata telah membawa beberapa perkembangan positif, dengan 16 dari 33 sandera yang dikuasai oleh Hamas telah dibebaskan. Sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, Israel juga membebaskan ratusan tahanan Palestina. Namun, ketidakpastian tetap membayangi masa depan Gaza dan keseluruhan kawasan Timur Tengah dengan potensi pecahnya kembali konflik yang lebih besar jika tidak ada langkah nyata menuju resolusi yang adil dan permanen atas isu Palestina.