Perjalanan Politik Rodrigo Duterte: Dari Pemimpin Hebat hingga Ditangkap ICC

Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, yang terkenal dengan julukan “The Punisher”, ditangkap oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) pada Selasa, 11 Maret 2025. Penangkapan ini merupakan langkah signifikan dalam penyelidikan ICC terkait dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berkaitan dengan kebijakan perang melawan narkoba, yang selama pemerintahannya (2016-2022) menyebabkan kematian ribuan warga Filipina.

Sebelum menjabat presiden, Duterte telah dikenal karena pendekatan kerasnya dalam menangani kriminalitas, terutama saat menjabat sebagai walikota Davao. Pada pemilihan presiden 2016, ia mencetak kemenangan dengan meraih 40% suara. Janji kampanyenya untuk memberantas kriminalitas, termasuk perang terhadap narkoba, disampaikan dengan tegas, bahkan ia mengatakan, “Lupakan hukum hak asasi manusia. Apabila saya terpilih, saya akan membunuh pengedar narkoba, perampok, dan kriminal lainnya.”

Berdasarkan data resmi pemerintah, lebih dari 6.284 orang tewas selama kampanye tersebut. Namun, ICC memperkirakan jumlah korban yang sebenarnya bisa mencapai antara 12.000 hingga 30.000 orang antara Juli 2016 hingga Maret 2019. Penangkapan Duterte berlangsung di Bandara Internasional Manila dan menandai momen penting dalam penyelidikan yang dimulai ICC pada September 2021. Penyidik ICC sempat menunda investigasi di bulan November 2021 setelah pemerintah Filipina menyatakan bahwa mereka telah melakukan penyelidikan internal. Akan tetapi, pada Januari 2023, ICC melanjutkan penyelidikan setelah menyatakan ketidakpuasan terhadap hasil investigasi Filipina. Upaya pemerintah Filipina untuk menghentikan penyelidikan melalui banding ditolak oleh ICC.

Dalam berbagai kesempatan, Duterte mengungkapkan bahwa ia tidak menyesali langkah-langkah yang diambilnya. “Saya tidak punya alasan untuk meminta maaf. Apabila saya harus masuk neraka, biarlah,” katanya dalam sidang kongres Filipina pada tahun 2024. Meskipun banyak kritik yang menghujani kebijakan tersebut, dukungan masyarakat terhadapnya tetap tinggi, berkat pendekatan tegasnya terhadap kejahatan.

Selama masa jabatannya, Duterte juga mengadopsi kebijakan luar negeri yang berorientasi pada Tiongkok, menjauh dari Amerika Serikat. Pada kunjungannya ke Beijing pada November 2016, Duterte bahkan tidak membahas sengketa wilayah di Laut China Selatan. Di sisi lain, ia juga meminta AS untuk membayar lebih jika ingin mempertahankan kerja sama militer dengan Filipina. Duterte bertujuan menarik investasi miliaran dolar dari Tiongkok meskipun banyak proyek yang dijanjikan tidak terealisasi. Setelah masa kepemimpinannya berakhir, hubungan Filipina dengan AS mulai membaik di bawah kepemimpinan Ferdinand Marcos Jr., yang terpilih pada tahun 2022 sebagai penggantinya, sementara putri Duterte, Sara Duterte, menjabat sebagai wakil presiden.

Namun, aliansi politik antara Marcos dan Sara Duterte tidak bertahan lama. Pada tahun 2024, Sara Duterte dimakzulkan atas dugaan penyalahgunaan anggaran dan ancaman terhadap nyawa Presiden Marcos Jr. Sidang pemakzulannya dijadwalkan dimulai pada Juni 2025.

Pemerintahan Duterte selama enam tahun ini menciptakan banyak kontroversi, terutama terkait kebijakan perang melawan narkoba yang mengakibatkan ribuan kematian. Dengan penangkapan ini, Duterte menghadapi sejumlah tuduhan serius atas pelanggaran hak asasi manusia, sehingga menandai berakhirnya salah satu bab paling penuh gejolak dalam sejarah politik Filipina. Penangkapan yang dilakukan oleh ICC ini menunjukkan bahwa meskipun Duterte telah meninggalkan kursi kepresidenan, dampak dari kebijakannya masih berlanjut dan akan terus dibahas dalam konteks hukum internasional dan pelanggaran hak asasi manusia.

Berita Terkait

Back to top button