
Perusahaan besar asal Arab Saudi yang telah beroperasi di Indonesia sejak tahun 2012 melaporkan dua WNA asal India, Abdul Samad dan Samsu Hussain, ke Polda Metro Jaya. Laporan tersebut dikirimkan pada 17 Oktober 2022 setelah perusahaan mengalami kerugian yang diperkirakan mencapai USD 62 juta akibat tindakan penggelapan yang dilakukan kedua tersangka.
Insiden ini bermula dari dugaan penggelapan yang berkaitan dengan perjanjian perdamaian homologasi, di mana Abdul Samad dan Samsu Hussain diduga membuat dan menggunakan surat palsu dalam proses hukum guna menghindari pembayaran sejumlah tagihan. Menurut data yang diperoleh, perusahaan asal Saudi terpaksa membayar tagihan sebesar Rp 17 miliar akibat tindakan tersebut.
Laporan yang diajukan oleh perusahaan di Polda Metro Jaya memiliki nomor No.LP/B/5281/X/2022/SKPT. Laporan ini menyatakan bahwa tindakan kedua WNA tersebut melanggar Pasal 266 dan Pasal 374 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang menempatkan keterangan palsu pada akta otentik dan penggelapan dalam jabatan.
Kedua tersangka sebelumnya menjabat sebagai Presiden Direktur dan Direktur perusahaan. Sebelumnya, mereka diproses sesuai putusan PKPU No.164/PDT-SUS.PKPU/2021/PN.NIAGA.JKT.PST di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Dalam proses penyelidikan, kedua WNA asal India tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Subdirektorat Reserse Mobil Ditreskrimum Polda Metro Jaya.
Namun, dinamika kasus ini menjadi lebih rumit ketika pada tahun 2023, mekanisme perdamaian restorative justice diterapkan, yang memungkinkan kedua tersangka dibebaskan. Mekanisme ini diduga dilakukan tanpa sepengetahuan pemilik perusahaan Saudi, menimbulkan spekulasi bahwa ada permainan pihak-pihak tertentu dalam proses hukum tersebut.
Sampai saat ini, pemilik perusahaan belum menerima pengembalian kerugian dari Abdul Samad dan Samsu Hussain. Ada dugaan keterlibatan seorang petinggi partai besar di Indonesia yang menyebabkan perjanjian damai diambil tanpa melibatkan pemilik perusahaan yang menjadi korban. Akibatnya, pemilik perusahaan merasa perlu mengganti pengurus dan membuat laporan polisi baru, namun setelah satu tahun laporan ini tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan.
Dalam konteks ini, pemilik perusahaan yang dirugikan juga mengajukan pengaduan ke Divisi Propam Polri terkait laporan polisi yang dihentikan oleh penyidik. Sayangnya, pengaduan itu juga tidak ditindaklanjuti, memperlihatkan adanya ketidakberesan dalam penanganan kasus tersebut.
Pihak pemilik merasa bahwa penanganan kasus ini sangat berbeda ketika laporan polisi di dalamnya ada keterlibatan pihak-pihak berpengaruh. Saat laporan tersebut didukung oleh petinggi partai besar, tidak lama kemudian tersangka pun ditetapkan dan ditahan, sedangkan kasus pemilik perusahaan tampaknya tersendat.
Berangkat dari fakta-fakta ini, situasi mengenai tindakan hukum terhadap penggelapan yang dilakukan oleh dua WNA asal India ini menciptakan perhatian lebih dari publik. Terhambatnya proses hukum dan belum adanya pengembalian kerugian menimbulkan kekhawatiran tentang transparansi dan keadilan dalam penanganan kasus-kasus sejenis, terutama terhadap investor asing di Indonesia.
Kasus ini menghadirkan tantangan bagi pihak berwenang di Indonesia dalam menegakkan hukum serta menjaga kepercayaan investor asing. Penanganan yang berkeadilan akan menjadi penilaian krusial bagi masa depan hubungan investasi antara Indonesia dengan negara-negara lain, khususnya dalam menarik investasi yang lebih besar dari Arab Saudi dan negara-negara lainnya.