Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa izin ekspor konsentrat tembaga untuk PT Freeport Indonesia (PTFI) tergantung pada penyelesaian perbaikan smelter mereka yang berada di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Gresik, Jawa Timur. Izin ekspor Freeport yang sebelumnya dimiliki sudah berakhir pada 31 Desember 2024.
Dalam keterangan resminya, Bahlil menilai bahwa perbaikan smelter menjadi kunci untuk mendapatkan izin ekspor tersebut. "Izin ekspor akan diberikan apabila Freeport bisa memastikan kapan perbaikan smelter ini rampung,” ujarnya dalam acara Mandiri Investment Forum di Fairmont Jakarta pada Selasa (11/2/2025).
Sejalan dengan itu, Freeport saat ini menghadapi masalah serius. Kebakaran yang melanda salah satu bagian smelter yang sudah menelan investasi sekitar US$ 3 miliar tersebut menghambat operasional mereka. "Di Freeport ada sedikit masalah. Smelter mereka yang sudah jadi dan saat ini sedang dalam tahap perbaikan," lanjut Bahlil.
Pihak Freeport, melalui Presiden Direktur Tony Wenas, mengungkapkan bahwa mereka sedang mengajukan izin relaksasi ekspor konsentrat tembaga. Tony juga menekankan bahwa saat ini seluruh operasional produksi katoda tembaga di smelter telah dihentikan karena perbaikan yang berlangsung. "Masih full berhenti. Kalau lagi perbaikan kan tidak mungkin produksi," katanya di Kantor Kemenko Perekonomian, Jumat (3/1).
Dari laporan yang diterima, Deputi Bidang Koordinasi Energi dan Sumber Daya Mineral Kemenko Perekonomian, Elen Setiadi menjelaskan bahwa Freeport diperkirakan bisa mulai kembali beroperasi penuh pada bulan Juli 2025. "Katanya masih enam bulan lagi, pokoknya selesai. Awal ramp-up. Pokoknya semester I selesai," ungkap Elen.
Dalam konteks regulasi, Menteri Bahlil juga menegaskan pentingnya keadilan dalam proses perizinan. Ia menambahkan bahwa pihaknya akan mengancam ketidakadilan jika mengizinkan Freeport mengekspor konsentrat sementara pihak lain di daerah seperti Amman Mineral di Nusa Tenggara Barat (NTB) telah menghentikan ekspor. "Jadi saya bilang sama dia, boleh saya kasih izin tetapi you harus take care kapan perbaikan ini selesai, supaya kita fair," ungkap Bahlil memberikan gambaran mengenai kebijakan yang diambil pemerintah.
Dari situasi yang ada, dapat diidentifikasi beberapa langkah yang harus diperhatikan oleh Freeport untuk mendapatkan izin ekspor, antara lain:
-
Penyelesaian Perbaikan Smelter: Freeport perlu menyelesaikan perbaikan smelter dengan segala sesuatunya rampung agar dapat mematuhi regulasi yang ada.
-
Pengajuan Rencana Tindak Lanjut: Mereka harus mengajukan rencana perbaikan dan memberikan estimasi waktu yang jelas kepada Kementerian ESDM.
-
Kepatuhan terhadap Regulasi: Memastikan bahwa seluruh operasional dan rencana yang dilakukan sejalan dengan kebijakan pemerintah terkait eksporte konsentrat.
- Komunikasi yang Transparan: Mengadakan komunikasi yang terbuka dengan Kementerian ESDM untuk menjelaskan setiap langkah dan perkembangan yang terjadi.
Kasus Freeport ini berpotensi berimplikasi pada sektor pertambangan dan ekspor di Indonesia, terutama dalam hal kepatuhan terhadap regulasi dan efektifitas manajemen risiko. Dengan berfokus pada penyelesaian masalah smelter, tidak hanya izin ekspor yang dapat diperoleh, namun juga reputasi dan keberlangsungan operasional PTFI di Indonesia. Melihat perkembangan ini, langkah selanjutnya dari Freeport dan bagaimana pemerintah menanggapi akan menjadi hal yang menarik untuk dicermati.