
Polda Papua membantah tudingan bahwa mereka menggunakan peluru tajam saat membubarkan aksi demonstrasi yang dilakukan oleh siswa-siswa di Wamena, Jayapura, yang menolak program Makan Bergizi Gratis (MBG). Dalam sebuah konferensi pers yang berlangsung pada Selasa (18/2/2025), Kabid Humas Polda Papua Kombes Ignatius Benny Ady memastikan bahwa tindakan pembubaran tersebut dilakukan dengan menggunakan gas air mata, bukan senjata api.
Tuduhan mengenai penggunaan peluru tajam ini muncul dari akun media sosial X, @vyeimo83, yang memposting foto dan video dari aksi demonstrasi tersebut. Postingan ini menyebar dengan cepat, memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat, terutama mengenai tindakan aparat kepolisian dalam menghadapi demonstrasi mahasiswa. Menanggapi hal ini, Benny menegaskan bahwa informasi tersebut adalah hoaks yang bertujuan untuk menjatuhkan reputasi Polri dan pemerintah.
“Ini hoaks. Isu ini sengaja diangkat oleh kelompok KKB untuk menyudutkan Polri atau pemerintah,” ujar Benny saat memberikan penjelasan kepada wartawan. Dia menambahkan bahwa dalam insiden tersebut, meskipun terjadi gesekan antara demonstran dan aparat kepolisian, tidak ada larangan dari pihak kepolisian untuk menggunakan peluru tajam.
Benny juga menjelaskan latar belakang demonstrasi yang terjadi pada Senin (17/2/2025). Sebanyak ratusan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) di Wamena melakukan aksi yang menuntut pendidikan gratis sebagai alternatif atas program MBG yang dinilai tidak memadai. “Massa mereka anarkis dan melemparkan batu kepada aparat,” sebutnya, menjelaskan alasan di balik penggunaan gas air mata oleh pihak kepolisian.
Penolakan akan program MBG ini bukan terjadi tanpa alasan. Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) turut mendukung aksi yang digelar siswa-siswa tersebut. Menurut laporan, mereka ingin menyampaikan bahwa pendidikan gratis lebih penting daripada sekedar memberikan makan bergizi kepada anak-anak di Papua. Demikian, akun resmi YLBHI melalui X menyampaikan bahwa aksi tersebut bertujuan untuk menuntut hak atas pendidikan yang layak.
Meskipun begitu, pihak kepolisian memiliki pandangan berbeda. Benny menyatakan bahwa aksi demonstrasi yang dilakukan tanpa izin dari pihak berwenang merupakan alasan utama penertiban. “Aksi ini tidak memiliki izin. Kami akan mengambil langkah sesuai prosedur untuk menjaga ketertiban umum,” lanjutnya.
Dalam footage yang tersebar di media sosial, terlihat aparat kepolisian menggunakan gas air mata untuk membubarkan massa yang semakin membara. Saksi mata melaporkan bahwa situasi menjadi semakin tegang ketika demonstran berusaha melawan dan melakukan perlawanan. Kapasitas pendukung aksi juga terlihat jelas pada jumlah demonstran yang hadir, yang menunjukkan bahwa aspirasi para siswa mendapatkan perhatian dari masyarakat luas.
Pihak kepolisian menegaskan bahwa mereka berkomitmen untuk menjaga keamanan dan ketertiban pada setiap aksi demonstrasi. Namun, mereka juga mengingatkan pentingnya mengikuti peraturan dalam menggelar sebuah demonstrasi, termasuk melakukan pemberitahuan dan pengajuan izin kepada pihak yang berwenang. Hal ini diharapkan agar setiap aksi dapat berjalan dengan damai dan tidak menimbulkan bentrokan antara aparat dan masyarakat.
Dalam situasi ini, perdebatan mengenai hak atas pendidikan dan cara penanganan demonstrasi di Papua kembali muncul ke permukaan. Ini menjadi salah satu isu penting yang perlu diperhatikan, terutama dalam konteks pendidikan di daerah yang sering kali terpinggirkan. Sebagai langkah maju, penting bagi semua pihak untuk berdialog dan mencarikan solusi yang saling menguntungkan demi kepentingan masyarakat dan pembangunan daerah.