Polling yang dilakukan oleh perusahaan riset Epinion untuk stasiun televisi Denmark, DR, menunjukkan bahwa mayoritas warga Denmark menolak rencana penggabungan Greenland ke Amerika Serikat (AS). Hasil polling tersebut mencerminkan protes luas terhadap niat kontroversial Donald Trump, yang dalam konteks alasan keamanan nasional, ingin mendapatkan kendali atas pulau terbesar di dunia tersebut.
Dari hasil survei, sebanyak 90 persen responden menolak rencana itu, dengan hanya 3 persen yang mendukung Greenland bergabung dengan AS. Sekitar 7 persen responden lainnya tidak memberikan jawaban pasti. Survei ini melibatkan 1.016 orang dan dilakukan pada periode 15 hingga 22 Januari dengan margin of error yang tidak disebutkan oleh Epinion.
Rencana Trump untuk memperoleh Greenland bukanlah hal baru. Ia pertama kali mengajukan niat tersebut pada 2019, saat menjabat sebagai presiden AS dalam periode pertama. Usulan tersebut menyebabkan kepanikan di Denmark, yang sejak lama memiliki hubungan historis dengan pulau tersebut. Greenland merupakan koloni Denmark hingga tahun 1953 dan kini memiliki status otonom sejak 2009, dengan pemerintahan yang bisa menentukan kebijakan dalam negerinya sendiri.
Polling lain yang dilakukan oleh perusahaan riset Megafon untuk stasiun TV2 di Denmark juga menunjukkan mayoritas warga mendukung agar Greenland tetap menjadi bagian dari Denmark. Selain itu, survei yang dilakukan oleh surat kabar USA Today dan Universitas Suffolk di Boston pada awal Januari menunjukkan bahwa lebih dari separuh warga AS juga menolak usulan penggabungan itu. Hal ini menunjukkan bahwa rencana Trump tidak hanya ditentang oleh warga Denmark, tetapi juga oleh banyak orang di AS.
Perdana Menteri Greenland, Mute Egede, secara tegas menolak usulan pembelian tersebut. Dalam banyak kesempatan, Egede menekankan bahwa Greenland tidak untuk dijual dan bahwa masa depan wilayahnya adalah di tangan rakyatnya sendiri. Hal ini semakin memperjelas posisi Greenland tentang kedaulatan dan independensinya sebagai sebuah entitas yang memiliki hak untuk menentukan jalan politiknya sendiri.
Rencana Trump untuk menguasai Greenland menjadi bagian dari strategi yang lebih luas dalam konteks geopolitik. Ia berargumentasi bahwa wilayah tersebut penting untuk keamanan nasional AS, bahkan mengklaim bahwa menguasai Greenland dapat melindungi dunia dari ancaman negara-negara seperti China dan Rusia. Namun, pendapat ini menuai banyak kritik, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Penting untuk dicatat bahwa Greenland memiliki sumber daya yang sangat signifikan, termasuk mineral dan potensi untuk eksplorasi energi. Hal ini sering kali menjadi fokus perhatian sejumlah negara besar, termasuk AS dan China, yang dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan minat yang meningkat terhadap wilayah Arktik. Ketegangan di kawasan ini juga semakin meningkat seiring dengan perubahan iklim yang memungkinkan akses lebih mudah ke sumber daya yang sebelumnya terkunci dalam es.
Berdasarkan data ini, dapat disimpulkan bahwa isu penggabungan Greenland menjadi bagian dari AS bukan hanya masalah nasional bagi Denmark dan Greenland, tetapi juga melibatkan dimensi internasional yang lebih kompleks. Sikap mayoritas masyarakat Denmark yang menolak rencana Trump mencerminkan kekhawatiran mendalam mengenai isu kedaulatan dan potensi pelanggaran terhadap hak rakyat Greenland. Sejarah, budaya, dan identitas Greenland sangat berperan dalam pembahasan ini, dan hasil polling terbaru menunjukkan bahwa warga Denmark sangat menghargai hubungan sejarah dan kultural dengan pulau itu.
Dengan ketidakpastian yang ada, tampaknya rencana penggabungan Greenland ke AS akan terus menghadapi penolakan baik dari masyarakat Denmark maupun Greenland. Hal ini menunjukkan bahwa suara rakyat dalam isu kontroversial ini sangat penting.