
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri, menerima kunjungan dari Presiden Prabowo Subianto di kediamannya pada Senin (7/4/2025). Pertemuan tersebut menjadi sorotan banyak pihak, mengingat dua tokoh besar ini memiliki pengaruh signifikan dalam politik Indonesia. Refly Harun, seorang pengamat hukum tata negara, meyakini bahwa pertemuan itu tidak hanya sekadar formil, melainkan menghadirkan potensi kesepakatan yang saling menguntungkan.
Dalam program Rakyat Bersuara di iNews TV, Refly menyampaikan bahwa “pertemuan seperti ini tidak bisa kita lihat sebagai, wah ini ada dua tokoh besar, merajut persatuan dan lain sebagainya. No free lunch, tidak ada makan siang yang gratis.” Menurutnya, dalam setiap pertemuan politik, pasti terdapat elemen timbal balik atau yang dikenal dengan istilah “take and give.” Kedua pihak, baik Megawati maupun Prabowo, menunjukkan kesiapan untuk melakukan dialog yang bisa menghasilkan kesepakatan strategis.
Refly juga menekankan pentingnya posisi PDIP sebagai partai oposisi dan berharap pertemuan ini tidak menggoyahkan sikap PDIP untuk tetap berada di luar pemerintahan. Saat ini, hanya ada dua partai di parlemen yang tidak terakomodasi dalam pemerintah, yaitu PDIP dan NasDem. Refly mengungkapkan bahwa awalnya ada rencana untuk membentuk koalisi besar yang melibatkan banyak partai, tetapi kondisi kini menunjukkan adanya eksklusi bagi beberapa partai, termasuk PDIP.
Dia juga menyoroti perilaku Ketua DPP PDIP, Puan Maharani, yang dianggap lebih fleksibel dalam menghadiri acara-acara koalisi partai pemerintah dibandingkan dengan Megawati. Refly mencatat, “Beberapa kali Puan Maharani hadir dalam pertemuan-pertemuan yang diinisiasi oleh pemerintah. Tapi Megawati tidak pernah datang dalam pertemuan formal apapun yang dibuat oleh pemerintah.” Hal ini memperlihatkan perbedaan sikap antara keduanya dan menunjukkan ketegasan Megawati dalam menjaga posisinya.
Kekhawatiran Refly ini berakar dari pentingnya keberadaan partai oposisi dalam sistem demokrasi. “Saya berharap, walaupun ada pertemuan seperti itu, harus tetap ada partai yang beroposisi. Jangan sampai pemerintahan ini tanpa koreksi,” ujarnya. Refly mencemaskan bahwa jika partai oposisi lemah atau tidak ada sama sekali, suara rakyat akan terabaikan. “Masa oposisinya Rai Rangguti yang tidak punya gerbong apa-apa. Sakit negeri ini kalau begitu,” tambahnya.
Menanggapi pertemuan ini, beragam reaksi muncul dari politikus dan analis lainnya. Banyak yang berpendapat bahwa meskipun komunikasi antara PDIP dan pemerintah berlangsung, itu tak serta-merta berarti kolaborasi. Senada dengan Refly, beberapa pengamat lain juga berharap adanya kekuatan oposisi yang bisa memberikan kritik konstruktif terhadap kebijakan pemerintah.
Dalam konteks ini, visi Megawati dan Prabowo untuk memajukan bangsa melalui dialog tetap menjadi catatan penting. Mereka berdua memiliki posisi unik yang bisa memengaruhi dinamika politik di Indonesia. Namun, tanpa adanya keberanian untuk mengkritisi, keberadaan partai oposisi hanya akan menjadi simbol tanpa makna.
Dalam upaya menjaga keseimbangan politik serta mendorong partisipasi publik dalam pengambilan keputusan, penting bagi PDIP, juga NasDem, untuk tetap tampil sebagai suara alternatif. Refly Harun menekankan bahwa pertemuan Megawati dan Prabowo merupakan langkah awal, namun peran sebagai partai oposisi yang efektif tetap harus dipegang demi keberlangsungan demokrasi di Indonesia.