Presiden Prabowo Subianto mendapatkan sorotan tajam terkait pengembangan proyek food estate, yang dinilai berisiko tinggi dalam mewujudkan swasembada pangan. Penegasan ini datang dari para aktivis lingkungan dan ahli yang merasa khawatir bahwa pelaksanaan proyek serupa di masa lalu telah menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat lokal dan kerusakan ekologis yang parah.
Proyek food estate, yang direncanakan untuk mengubah lahan gambut menjadi area pertanian, diwarnai oleh pengalaman kurang baik sebelumnya. Salah satu studi yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian menunjukkan adanya potensi lahan gambut dangkal untuk pengembangan pertanian. Potensi ini meliputi sepertiga dari total 20 juta hektar lahan gambut di Indonesia, yang merupakan yang terluas di Asia Tenggara dan hampir separuh dari total lahan gambut dunia.
Koordinator Nasional Pantau Gambut, Iola Abas, memperingatkan bahwa pengembangan lahan pertanian di lahan gambut harus dilakukan dengan hati-hati. Ia menegaskan, “Penggunaan lahan untuk pertanian hanya boleh dilakukan pada lahan gambut dangkal. Itu pun harus dengan penerapan teknologi pengelolaan air dan memperhatikan karakteristik gambut serta jenis tanaman.” Iola juga menegaskan pentingnya melibatkan para ahli dalam setiap langkah pengolahan lahan gambut agar tidak terjadi kesalahan yang sama.
Studi yang dilakukan oleh Pantau Gambut selama periode 2020-2023 menunjukkan beberapa fakta mencengangkan tentang hasil pembukaan lahan. Penelitian dilakukan di 30 titik lokasi, terutama di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, dengan metode pemantauan yang berfokus pada kehilangan tutupan pohon, kebakaran hutan, dan kesesuaian lahan untuk budidaya padi. Hasilnya sangat mengecewakan; hampir seluruh lahan gambut yang dibuka untuk proyek food estate ternyata tidak cocok untuk budidaya padi. Dari total 243.216 hektar lahan eks-PLG (Pengembangan Lahan Gambut) Kalimantan Tengah, hanya sekitar 1% yang sesuai untuk pertanian, sementara sisanya memiliki kesesuaian sedang hingga rendah.
“Lahan yang sudah dibuka sebagian besar ditinggalkan, dan sebagian lainnya telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit yang dikuasai swasta,” lanjut Iola. Melihat data ini, wajar jika banyak pihak meragukan efektivitas proyek food estate yang digagas oleh Prabowo dalam mencapai swasembada pangan.
Ketidakpuasan publik juga semakin meningkat ketika mempertimbangkan bahwa pendekatan pengembangan lahan berbasis korporasi, yang lebih memprioritaskan kepentingan investasi dari pihak swasta, menjadi ancaman bagi kedaulatan pangan lokal. Iola menambahkan bahwa pemerintah seharusnya lebih mengutamakan pendekatan berbasis lokal yang lebih sesuai dengan kondisi lahan gambut, dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai subjek utama dalam pengelolaan lahan.
Melihat latar belakang ini, ada beberapa poin utama yang sebaiknya diperhatikan oleh pemerintah dan Prabowo dalam pengembangan proyek food estate:
Keterlibatan Masyarakat: Melibatkan masyarakat lokal sebagai pengelola utama lahan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan mendukung kedaulatan pangan.
Pengelolaan berbasis Ilmu Pengetahuan: Mempertimbangkan karakteristik lahan gambut yang unik dan menerapkan teknologi pengelolaan yang tepat untuk mencegah kerusakan ekosistem.
Evaluasi Proyek Sebelumnya: Menggunakan data dan analisis dari proyek sebelumnya guna belajar dari kesalahan untuk menghindari pengulangan dampak negatif.
- Prioritaskan Keberlanjutan: Memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil dalam proyek food estate tidak merugikan lingkungan dan dapat berkontribusi pada keberlanjutan pertanian di masa depan.
Pemerintah diharapkan dapat mengambil langkah-langkah yang lebih bijak dalam mengelola proyek food estate agar cita-cita swasembada pangan yang diharapkan dapat terwujud belakangan ini bukan hanya sekadar jargon, tetapi dapat benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan. Penyelamatan lahan gambut ini menjadi penting, tidak hanya untuk keberlanjutan pertanian, tetapi juga untuk menjaga keseimbangan ekosistem yang semakin terancam.