
Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noel Barrot, mengungkapkan kekhawatiran mendalam mengenai meningkatnya risiko perang di Eropa. Ia mencatat bahwa “garis depan Ukraina terus mendekati kita,” yang menunjukkan situasi semakin genting di kawasan tersebut. Pernyataan tersebut disampaikan melalui radio France Inter, menegaskan bahwa kondisi dalam dan luar Eropa saat ini tidak pernah seberbahaya ini.
Dalam perkembangan terbaru, Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Perdana Menteri Inggris telah mengusulkan gencatan senjata parsial selama satu bulan. Gencatan senjata ini, jika disepakati, tidak akan mencakup konflik darat, namun akan berfokus pada infrastruktur udara, laut, dan energi. Barrot menyatakan, interupsi tempur tersebut jika diterima, dapat membuka peluang bagi Ukraina dan negara sekutunya untuk menilai itikad baik Presiden Rusia, Vladimir Putin, dalam memulai negosiasi untuk kesepakatan damai yang lebih permanen.
Namun, Kremlin menanggapi skeptis terhadap inisiatif ini. Juru bicara Dmitry Peskov mengatakan bahwa janji pemimpin Eropa untuk meningkatkan pendanaan kepada Kyiv hanya akan memperpanjang konflik yang sedang berlangsung. Menurutnya, ini akan memberikan kesempatan bagi pertempuran untuk terus berlanjut, sehingga memperumit jalan menuju perdamaian.
Dalam diskusi tersebut, Peskov juga menyinggung mengenai pernyataan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, yang menolak menyerahkan wilayah manapun kepada Rusia. Ia menegaskan bahwa situasi di lapangan telah berubah drastis sejak perundingan Istanbul yang gagal pada tahun lalu.
Masih dalam agenda diplomasi, Menteri Pertahanan Inggris, Luke Pollard, menegaskan bahwa belum ada kesepakatan konkret mengenai rencana gencatan senjata parsial. Meskipun Prancis dan Inggris bekerja sama dalam upaya menciptakan perdamaian yang abadi, Pollard menekankan pentingnya seluruh pihak untuk terlibat dalam mencari solusi jangka panjang.
Zelenskyy sendiri, dalam pernyataannya, menekankan bahwa setiap gencatan senjata yang lemah akan menjadi langkah awal bagi agresi lebih lanjut dari Rusia. Ia menyerukan adanya “kekuatan kolektif yang lebih besar dari dunia” untuk menghentikan serangan Rusia, dan menuntut perdamaian yang adil dan dapat diandalkan.
Dalam rincian lebih lanjut, Zelenskyy mencatat bahwa Moskow telah melancarkan lebih dari 1.050 serangan menggunakan pesawat nirawak, hampir 1.300 bom udara, dan lebih dari 20 rudal ke Ukraina dalam seminggu terakhir. Ia menekankan bahwa pihak yang berusaha untuk bernegosiasi seharusnya tidak melakukan serangan terhadap warga sipil dengan senjata yang mematikan.
Kremlin sebelumnya juga mengkritik pemimpin Ukraina, menuduh mereka menunjukkan “kurangnya keterampilan diplomatik” dan tidak memahami realitas yang terjadi di medan perang. Situasi ini semakin memperumit proses diplomasi yang dibutuhkan untuk menemukan jalan keluar dari ketegangan yang berkepanjangan.
Dengan meningkatnya tensi di kawasan Eropa ini, langkah-langkah diplomatik perlu dilakukan dengan hati-hati. Semua pihak harus berkomitmen untuk menciptakan suasana yang kondusif guna membangun dialog yang konstruktif ketimbang berlarut-larut dalam siklus kekerasan. Upaya mencari perdamaian di Eropa terus menghadapi tantangan besar, dan semua mata tertuju pada protagonis utama dalam konflik ini, yaitu Ukraina dan Rusia, serta reaksi global terhadap kebijakan mereka.