
Presiden Prancis, Emmanuel Macron, dalam sebuah wawancara di televisi France 5 pada Rabu, 9 April 2025, mengungkapkan rencana ambisius Prancis untuk mengakui Palestina sebagai negara pada bulan Juni 2025. Pernyataan ini menggambarkan perubahan signifikan dalam kebijakan luar negeri Prancis, yang selama ini terbata-bata di tengah ketegangan yang terus berlangsung antara Palestina dan Israel.
Macron menegaskan pentingnya langkah ini dengan mengatakan, “Kita perlu bergerak menuju pengakuan (negara Palestina). Saya tidak melakukannya untuk menyenangkan siapa pun. Saya akan melakukannya karena pada suatu saat nanti itu akan benar.” Hal ini menunjukkan komitmen Prancis dalam menciptakan solusi yang lebih baik bagi konflik yang telah berlangsung lama ini. Ia juga menambahkan niatnya untuk berkontribusi dalam dinamika kolektif yang akan memungkinkan negara-negara yang mendukung Palestina untuk mengakui Israel di masa depan, sebuah langkah yang selama ini belum banyak dilakukan.
Saat ini, hampir 150 negara di dunia telah mengakui Palestina sebagai negara berdaulat, meskipun kebanyakan negara-negara Barat, termasuk Prancis, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Jepang, hingga kini belum memberikan pengakuan tersebut. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada banyak dukungan global untuk Palestina, tantangan besar tetap ada terutama dari kekuatan-kekuatan utama di Barat.
Penting untuk dicatat bahwa langkah Prancis ini bukan hanya langkah sepihak. Macron menjelaskan bahwa tujuannya adalah untuk mengadakan konferensi di bulan Juni yang akan memfasilitasi pengakuan timbal balik antara negara-negara, termasuk Arab Saudi. Negara ini merupakan salah satu negara penting yang selama ini tidak mengakui Israel, dan keterlibatannya dalam proses ini dapat menjadi kunci dalam membuka jalur diplomasi baru.
Dalam konteks yang lebih luas, keputusan Prancis ini dapat menjadi momen krusial dalam sejarah diplomasi di Timur Tengah. Dengan hampir 150 negara telah mengakui Palestina, kebijakan Prancis dapat memberikan dorongan bagi negara-negara Barat lainnya untuk mempertimbangkan kembali posisi mereka. Hal ini seiring dengan semakin besar dukungan global untuk penyelesaian dua negara, di mana Israel dan Palestina dapat hidup berdampingan secara damai.
Reaksi dari komunitas internasional terhadap pernyataan Macron ini cukup bervariasi. Beberapa mendukung langkah tersebut sebagai langkah progresif yang diperlukan untuk kemajuan menuju perdamaian. Namun, terdapat juga skeptisisme dari pihak yang khawatir bahwa pengakuan Palestina tidak diiringi dengan langkah konkret untuk mengatasi isu-isu mendasar yang telah memperpanjang konflik.
Konflik antara Palestina dan Israel telah berlangsung lebih dari tujuh dekade, menyisakan luka mendalam di kedua belah pihak. Langkah Prancis untuk mengakui Palestina dapat menjadi stimulus bagi diplomasi internasional yang lebih aktif dalam menyelesaikan konflik ini. Saat Macron menyatakan bahwa “tujuan kami adalah untuk memimpin konferensi ini”, dia menunjukkan bahwa ada harapan untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat.
Bersamaan dengan inisiatif Prancis, dinamika di kawasan Timur Tengah dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan tanda-tanda perubahan. Beberapa negara Arab, seperti Uni Emirat Arab dan Bahrain, telah melakukan normalisasi hubungan dengan Israel, suatu langkah yang sebelumnya dianggap mustahil. Buntut dari perubahan tersebut, ada peluang bagi negara-negara lain untuk mengikuti jejak tersebut dengan menormalkan hubungan sekaligus mengakui eksistensi Palestina.
Secara keseluruhan, pengumuman dari Presiden Macron ini diharapkan dapat menjadi momentum baru dalam upaya mencapai perdamaian yang lebih stabil di Timur Tengah. Dengan mengedepankan dialog dan kerjasama, Prancis berusaha untuk mengambil peran lebih besar dalam penyelesaian salah satu konflik terpanjang dan paling kompleks di dunia ini.