Profil Ahmad Al Sharaa: Presiden Suriah Baru Dihargai Rp162 M

Ahmad Al Sharaa, presiden Suriah yang baru, muncul sebagai tokoh sentral dalam dinamika politik negara yang sudah lama dilanda konflik. Dia ditunjuk sebagai presiden dalam masa transisi sebelum pemilihan umum yang dijadwalkan untuk membentuk pemerintahan permanen. Al Sharaa, yang sebelumnya dikenal sebagai Abu Mohammed Al Julani, mendapatkan perhatian internasional setelah berhasil menggulingkan Presiden Bashar Al Assad pada 8 Desember 2024. Dalam waktu kurang dari dua minggu, dia dan pasukannya dari kelompok oposisi bersenjata Hayat Tahrir Al Sham (HTS) mengambil alih banyak wilayah, termasuk Damaskus.

Latar belakang Ahmad Al Sharaa sangat menarik. Dia lahir pada 1982 di Riyadh, Arab Saudi, sebagai Ahmad Hussein Al Sharaa. Ayahnya bekerja sebagai insinyur perminyakan, dan keluarga Al Sharaa kembali ke Suriah pada 1989, menetap di dekat Damaskus. Meskipun tidak banyak yang diketahui tentang tahun-tahun awalnya di Suriah, pada 2003, Al Sharaa pindah ke Irak dan bergabung dengan Al Qaeda untuk melawan invasi Amerika Serikat. Pada 2006, dia ditangkap oleh pasukan AS dan ditahan selama lima tahun. Setelah bebas, dia ditugaskan untuk mendirikan cabang Al Qaeda di Suriah, yang dikenal sebagai Front Al Nusra, dan mulai mendominasi wilayah-wilayah yang dikuasai oposisi, terutama di Idlib.

Sepanjang perjalanan politiknya, Al Sharaa sempat bekerja sama dengan Abu Bakr Al Baghdadi, pemimpin ISIS. Namun, saat Al Baghdadi memutuskan untuk memperluas pengaruhnya di Suriah, Al Sharaa memilih untuk setia pada Al Qaeda. Dia mengungkapkan pandangannya bahwa Suriah harus diperintah menurut interpretasi hukum Islam, tanpa memberi tempat bagi kaum minoritas.

Namun, seiring berjalannya waktu, Al Sharaa mulai menjauh dari tujuan-tujuan Al Qaeda. Dia memfokuskan perhatian pada penguatan kelompoknya di dalam Suriah, terutama setelah Aleppo jatuh ke tangan rezim Assad pada 2016, yang memaksa HTS untuk beralih basis ke Idlib. Pada tahun 2017, Al Sharaa mendirikan HTS sebagai gabungan beberapa kelompok bersenjata dan memulai pemerintahan di Idlib yang memberikan layanan termasuk pendidikan, kesehatan, serta mengelola infrastruktur secara mandiri.

Di tengah pergolakan ini, Al Sharaa menarik perhatian pemerintah Amerika Serikat. Sebelum jatuhnya rezim Assad, AS sempat menawarkan hadiah sebesar 10 juta dolar atau sekitar Rp162 miliar untuk informasi yang bisa membantu menangkap Al Sharaa. Namun, setelah penggulingan Assad, AS mencabut sayembara tersebut. Delegasi AS yang dipimpin oleh Barbara Leaf, utusan Joe Biden untuk Timur Tengah, bertemu dengan Al Sharaa di Damaskus pada 20 Desember 2024. Dalam sambutannya, Leaf menyatakan bahwa AS mendukung perubahan yang terjadi dan mendorong Al Sharaa untuk melanjutkan proses politik guna membentuk pemerintahan inklusif yang menghormati hak-hak semua warganya.

Kejadian ini menandai pergeseran signifikan dalam hubungan antara Al Sharaa dan AS, di mana Al Sharaa dianggap telah banyak berubah sejak berpisah dari Al Qaeda. Hal ini menimbulkan pertanyaan baru mengenai arah politik Suriah ke depan dan bagaimana pemerintah di bawah Al Sharaa akan menghadapi tantangan domestik dan internasional.

Dalam konteks ini, Ahmad Al Sharaa bukan hanya menjadi presiden baru, tetapi juga simbol perubahan dalam lanskap politik Suriah yang terus berkembang. Mampukah Al Sharaa membawa stabilitas dan legitimasi bagi Suriah ke depan? Keputusan strategisnya dan dinamika yang berkembang akan menjadi fokus perhatian dunia internasional seiring dengan upayanya untuk memimpin negara yang terfragmentasi ini.

Exit mobile version