Proyek investasi skala besar China, Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI), kembali memicu kontroversi, terutama di Indonesia. Dalam beberapa bulan terakhir, proyek ambisius ini menghadapi penolakan keras dan demonstrasi dari pekerja yang merasa dirugikan, terutama di kawasan industri Morowali. Kerusuhan terbaru yang terjadi pada 2 Maret 2025 menandai fase tegang dari proyek yang awalnya dicita-citakan untuk meningkatkan hubungan perdagangan global ini.
Sebanyak seribu pekerja dari kawasan industri Morowali melakukan aksi demonstrasi dan pemogokan. Protes ini dipicu oleh kebijakan manajemen yang dianggap represif terhadap hak-hak pekerja. Dalam kerusuhan tersebut, massa mengamuk dan membakar sejumlah fasilitas, termasuk pos jaga dan mobil patroli. Insiden ini menjadi yang kedua kalinya dalam waktu dua bulan, setelah demonstrasi besar-besaran pada Februari yang menuntut hak-hak buruh, terutama dari pekerja outsourcing China yang kehilangan waktu istirahat dalam bekerja selama enam bulan.
Kawasan industri Morowali, yang dikelola oleh perusahaan investasi China, Dingxin Group, melalui Tsingshan dan Bintang Delapan Group, berfokus pada penambangan nikel dan peleburan. Sayangnya, ketidakpuasan di kalangan pekerja semakin meningkat karena mereka mengalami kondisi kerja yang buruk, termasuk tidak dibayarnya upah tepat waktu. Jaringan Advokasi Hak Pertambangan Indonesia mencatat setidaknya 22 pekerja, baik dari Indonesia maupun China, telah kehilangan nyawa di lokasi tambang sejak 2019, yang menyoroti masalah keselamatan kerja yang serius.
Proyek BRI diluncurkan oleh Partai Komunis China (PKC) pada tahun 2013 dengan tujuan menciptakan jaringan luas proyek infrastruktur hingga ke seluruh Asia, Eropa, dan Afrika. Namun, setelah lebih dari satu dekade, berbagai laporan menunjukkan bahwa proyek ini telah menuai beragam dampak buruk, termasuk:
1. Jebakan utang: Banyak negara peserta kesulitan membayar kembali pinjaman besar dari China untuk mendanai proyek-proyek ini.
2. Kerusakan lingkungan: Proyek skala besar seringkali menyebabkan degradasi lingkungan dan mengganggu ekosistem lokal.
3. Korupsi: Kasus-kasus korupsi yang terkait dengan proyek BRI semakin mencuat, memperburuk citra inisiatif ini.
4. Pelanggaran hak pekerja: Banyak laporan mengindikasikan bahwa pekerja di proyek BRI menghadapi penundaan upah dan kondisi kerja yang tidak layak.
Sementara itu, ketidakpuasan masyarakat dan pekerja yang terlibat dalam proyek ini juga meluas ke media sosial, di mana banyak orang mengungkapkan kemarahan terhadap eksploitasi yang terjadi. Banyak yang menilai proyek ini tidak hanya merugikan pekerja lokal tetapi juga berdampak negatif pada perkembangan sosial dan ekonomi di daerah tersebut.
Meskipun Inisiatif Sabuk dan Jalan awalnya dipandang sebagai peluang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan konektivitas, berbagai masalah yang muncul menunjukkan bahwa realitasnya jauh dari harapan. Di Indonesia, di mana protes dan kerusuhan menjadi berita umum, tantangan dan kontroversi ini menimbulkan pertanyaan tentang kelangsungan proyek BRI di masa depan. Dengan munculnya berbagai tantangan ini, penting untuk menggali lebih dalam bagaimana proyek ini akan beradaptasi dengan keadaan yang ada dan apakah dapat memenuhi ambisi awalnya untuk meningkatkan hubungan perdagangan dan investasi global.
Kondisi ini menciptakan spekulasi mengenai dampak jangka panjang dari proyek BRI di Indonesia. Akankah proyek ini berhasil menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, atau justru sebaliknya, akan menjadi sumber konflik dan ketidakpuasan yang lebih besar? Waktu yang akan menjawab pertanyaan tersebut, namun jelas bahwa penolakan yang kian menguat menandai perlunya reevaluasi terhadap pelaksanaan dan dampak proyek yang sedang berlangsung.