Ratusan orang tewas dalam serangkaian serangan udara terbaru yang dilancarkan oleh Israel di Gaza, menandai eskalasi yang mengkhawatirkan dalam konflik yang sudah berlangsung selama lebih dari 15 bulan. Menurut otoritas kesehatan Palestina, sedikitnya 200 orang telah kehilangan nyawa, di mana banyak di antaranya adalah anak-anak, akibat dari serangan yang terjadi pada Selasa pagi.
Serangan tersebut dilanjutkan setelah kebuntuan berlarut-larut mengenai perpanjangan gencatan senjata yang disepakati pada bulan Januari. Pesawat tempur Israel menghantam berbagai lokasi di Gaza, termasuk Gaza utara, Kota Gaza, Deir al-Balah, Khan Younis, dan Rafah. Banyak rumah sakit yang sudah kewalahan oleh jumlah korban tewas yang terus meningkat. Rumah Sakit Nasser dan Rumah Sakit Al-Aqsa di Jalur Gaza tengah melaporkan menerima korban, dengan para staf medis terpaksa menghadapi situasi yang sangat sulit, termasuk tumpukan mayat di rumah sakit.
Militer Israel mengklaim bahwa operasi mereka menargetkan puluhan sasaran dan akan terus berlanjut selama diperlukan. Mereka menyatakan bahwa serangan ini tidak hanya akan terbatas pada serangan udara, tetapi juga dapat meliputi aksi-aksi darat. Menurut juru bicara Kementerian Kesehatan Gaza, serangan terbaru ini lebih luas skala dan intensitasnya dibanding dengan serangkaian serangan sebelumnya.
Sementara itu, kelompok Hamas mengklaim bahwa Israel telah membatalkan perjanjian gencatan senjata yang sedang dinegosiasikan. Mereka mengancam bahwa nasib sejumlah 59 sandera yang masih ditahan di Gaza menjadi tidak pasti. Dalam sebuah pernyataan, Hamas menuntut pertanggungjawaban kepada Netanyahu dan pemerintah Israel atas pelanggaran terhadap perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati sebelumnya.
Konflik ini kembali menghangat ketika kedua belah pihak saling tuduh atas kegagalan untuk mematuhi ketentuan perjanjian yang ditetapkan. Dalam sebuah konferensi pers, seorang juru bicara untuk Netanyahu menuduh Hamas bahwa mereka “berulang kali menolak untuk membebaskan sandera.” Di sisi lain, pernyataan resmi dari Gedung Putih menyebutkan bahwa pemerintah Israel telah berkonsultasi dengan pihak AS sebelum melancarkan serangan tersebut.
Dalam perkembangan yang mengkhawatirkan, saksi mata melaporkan bahwa tank-tank Israel menyerang daerah-daerah di Rafah, menyebabkan banyak keluarga yang sebelumnya kembali ke rumah mereka terpaksa mengungsi kembali. Situasi ini semakin diperparah oleh dilaporkannya kerusakan yang parah di berbagai wilayah Gaza, di mana ribuan orang kini hidup dalam kondisi yang sangat tidak layak.
Dari sisi internasional, mediator dari Mesir dan Qatar berupaya menjembatani kesenjangan antara kedua belah pihak. Namun, kesepakatan damai masih jauh dari kenyataan. Sementara itu, Hamas berkeras untuk menuntut negosiasi guna mengakhiri konflik secara permanen, dengan syarat penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza.
Konflik ini telah mengakibatkan kerugian besar bagi kedua belah pihak, dengan lebih dari 48.000 orang tewas menurut data pihak Palestina sejak konflik pecah pada 7 Oktober 2023. Masyarakat sipil sangat terpukul akibat serangan beruntun ini, sementara infrastruktur yang rusak parah menyebabkan sulitnya akses terhadap layanan kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya di Gaza yang telah hancur.
Eskalasi konflik ini menunjukkan betapa rumit dan dalamnya situasi di kawasan tersebut, di mana harapan untuk mencapai perdamaian semakin tipis di tengah kekerasan yang terus berlanjut.