
Gedung Putih baru-baru ini menolak proposal rekonstruksi Gaza yang diajukan oleh Liga Arab. Penolakan ini disampaikan karena pemerintah AS menilai bahwa usulan tersebut tidak mencerminkan kenyataan yang ada di wilayah berpenduduk sekitar 2,3 juta jiwa itu. Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional AS, Brian Hughes, menegaskan bahwa kondisi di Gaza saat ini sangat sulit, di mana banyak rumah telah hancur dan ada puing-puing serta amunisi yang belum meledak.
Menyusul penolakan ini, sejumlah isu penting terkait Gaza menjadi sorotan, khususnya mengenai relokasi penduduk. Pemerintah former Presiden Donald Trump pernah mengusulkan untuk memindahkan warga Gaza ke Mesir dan Yordania. Namun, rencana tersebut ditolak tegas oleh negara-negara Arab, termasuk Palestina, yang menolak segala bentuk pengusiran penduduk.
Proposal yang diajukan di KTT Liga Arab darurat yang digelar di Kairo, Mesir, mencakup rencana rekonstruksi Gaza senilai 53 miliar dolar AS atau sekitar Rp870 triliun. Rencana ini disetujui oleh negara-negara anggota, namun pernyataan yang dihasilkan menegaskan menolak rencana relokasi penduduk Gaza. Sebagai gantinya, para pemimpin Arab sepakat untuk menyediakan rumah sementara bagi warga Gaza selama proses rekonstruksi berlangsung.
Adapun isu lainnya yang diangkat dalam KTT tersebut adalah penugasan komite hukum untuk mengeksplorasi status pengungsi Palestina dalam konteks hukum internasional dan vitalnya memperhatikan dampak genosida. Selain itu, para pemimpin negara Arab mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengerahkan pasukan penjaga perdamaian internasional di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Langkah ini diharapkan dapat mendukung upaya mencapai perdamaian dan kedaulatan negara Palestina.
Kebijakan Gedung Putih yang menolak keterlibatan Hamas dalam rekonstruksi Gaza menjadi perhatian. Kementerian Luar Negeri AS memberi sinyal kuat bahwa mereka lebih ingin mengikutsertakan pemimpin politik lainnya daripada kelompok yang dianggap teroris. Mereka berharap melalui pendekatan ini, proses rekonstruksi bisa berjalan lebih lancar tanpa gangguan dari Hamas.
Berbagai analisis menunjukkan bahwa penolakan AS ini dapat memperlambat upaya rekonstruksi yang sangat dibutuhkan oleh Gaza. Kondisi kemanusiaan di sana sangat memprihatinkan, dengan banyak warga yang kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, dan akses ke layanan dasar. Tanpa dukungan internasional yang memadai, perspektif akan rehabilitasi Gaza terlihat suram.
Menghadapi situasi ini, penting bagi dunia internasional untuk memperhatikan pendapat dan posisi negara-negara Arab serta memastikan bahwa suara Palestina didengar dalam perundingan yang akan datang. Terlebih lagi, pembicaraan antara para pemimpin Arab dan AS mengenai masa depan Gaza perlu dilakukan secara konstruktif untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan dan manusiawi bagi seluruh penduduk Gaza.
Dengan adanya proyeksi pemulihan yang masih diperdebatkan, masa depan Gaza tampaknya masih akan diwarnai oleh ketegangan politik serta tantangan kemanusiaan yang pelik. Para ahli percaya bahwa keberhasilan rekonstruksi tidak hanya bergantung pada dukungan finansial, tetapi juga pada komitmen serta kerjasama antara berbagai pihak terkait untuk mencapai perdamaian yang abadi di wilayah tersebut. Sebuah tantangan besar yang menantikan penyelesaian yang sahih dan inklusif.