Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) menanggapi secara resmi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan penetapan lima tersangka terkait dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas kredit. Dua di antara tersangka tersebut merupakan direktur di LPEI. Corporate Secretary LPEI, Sam Malee, menjelaskan bahwa lembaganya bersikap kooperatif dan transparan dalam mendukung proses hukum yang sedang berjalan. Menurutnya, kasus ini berkaitan dengan aset yang bermasalah dan penyalurannya dilakukan sejak tahun 2012.
Sam Malee menegaskan bahwa LPEI telah mengimplementasikan berbagai langkah strategis dan transformasi kelembagaan dalam lima tahun terakhir. Ini semua bertujuan untuk memperkuat manajemen risiko, tata kelola, dan pengawasan internal yang lebih ketat. “LPEI terus mengupayakan perbaikan dalam proses, sistem, dan kebijakan yang ada, serta memastikan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku,” ujar Sam dalam keterangan resmi yang dirilis pada Senin (3/3/2025).
Dalam penjelasannya, Sam juga menyatakan komitmen LPEI untuk menegakkan hukum. LPEI siap mendukung kebutuhan dan menyediakan data yang diperlukan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dalam proses penyidikan. Karena itu, LPEI mengharapkan pihak-pihak terkait memahami keseriusan lembaganya dalam menangani isu ini.
KPK telah menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian kredit yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di LPEI. Lima tersangka tersebut adalah Direktur Pelaksana I LPEI Dwi Wahyudi, Direktur Pelaksana IV LPEI Arif Setiawan, Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal/Komisaris Utama PT Petro Energy Jimmy Masrin, Direktur Utama PT Petro Energy Newin Nugroho, dan Direktur Keuangan PT Petro Energy Susi Mira Dewi Sugiarta.
Kasus ini bermula pada tahun 2015 ketika PT Petro Energy menerima kredit dari LPEI dengan total sekitar 60 juta dolar AS atau setara Rp988,5 miliar. Kredit tersebut disalurkan dalam tiga termin, yaitu:
1. 2 Oktober 2015 sebesar Rp297 miliar.
2. 19 Februari 2016 sebesar Rp400 miliar.
3. 14 September 2017 sebesar Rp200 miliar.
Penyidik KPK menemukan adanya pelanggaran hukum dalam proses pemberian kredit tersebut, termasuk kenyataan bahwa kondisi keuangan PT Petro Energy tidak memenuhi syarat dan adanya kontrak palsu sebagai dasar pengajuan kredit tersebut. KPK juga mengungkap sebuah istilah baru bernama “kode uang zakat,” yang merujuk pada fee yang diambil oleh para tersangka.
Selain itu, kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai Rp11,7 triliun, menjadikannya sebagai salah satu kasus korupsi besar yang menghebohkan. KPK saat ini sedang melakukan berbagai pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan semua pihak yang terlibat dapat diperiksa dan diproses secara hukum.
Dalam sebuah pernyataannya, Sam Malee menegaskan komitmen LPEI untuk menjunjung tinggi tata kelola yang baik dan berintegritas dalam semua aktivitas operasional. “Kami akan terus berkomitmen profesional dalam menjalankan mandat kami untuk mendukung ekspor nasional yang berkelanjutan,” ujarnya.
Kasus ini menjadi sorotan publik dan menimbulkan keprihatinan mengenai pengelolaan dana pemerintah. Masyarakat berharap agar penegakan hukum dalam kasus ini berjalan transparan dan adil, serta menjadi pembelajaran bagi lembaga-lembaga lainnya untuk meningkatkan pengawasan dan akuntabilitas dalam penggunaan dana publik. Dengan terus menerus memperbaiki sistem internal dan mendorong tata kelola yang baik, harapan untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan tetap ada.