Ribuan karyawan Google dari berbagai kantor di Amerika Serikat dan Kanada telah melayangkan protes terhadap rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang dijadwalkan berlangsung pada tahun 2025 mendatang. Protes ini ditandai dengan petisi internal yang telah ditandatangani oleh lebih dari 1.250 pekerja, yang menyatakan kekhawatiran mereka terkait ketidakstabilan di dalam perusahaan. Dalam petisi tersebut, karyawan mengungkapkan bahwa ketidakpastian ini berdampak negatif pada kinerja mereka, yang sebelumnya dikenal sebagai salah satu yang terbaik di industri teknologi.
“Sebagai pekerja Google, kami sangat prihatin dengan ketidakstabilan yang dialami. Ini jelas memengaruhi kemampuan kami untuk memberikan pekerjaan berkualitas tinggi dan berdampak,” tulis para karyawan dalam petisi yang dikutip dari CNBC pada tanggal 4 Februari 2025. Mereka merasa situasi ini tidak sejalan dengan kondisi keuangan perusahaan, yang tetap berkinerja baik meskipun terdapat rencana PHK.
Para karyawan menyoroti kontradiksi dalam kebijakan perusahaan terkait PHK. Dalam petisi tersebut, mereka menyatakan, “PHK terus-menerus membuat kami merasa tidak aman dengan pekerjaan kami. Perusahaan ini berada dalam posisi keuangan yang kuat, sehingga keputusan untuk memecat banyak rekan kerja tanpa penjelasan yang jelas semakin menyakitkan.” Rencana PHK ini terbukti merugikan, karena mendorong rasa tidak aman di kalangan karyawan, yang sudah berdampak pada produktivitas mereka.
Salah satu aspek yang disoroti dalam petisi adalah tindakan CEO Google, Sundar Pichai, yang menawarkan opsi pembelian saham sebelum melaksanakan PHK. Langkah ini dianggap sebagai usaha untuk menjamin pesangon bagi karyawan yang akan diberhentikan. Dalam konteks ini, para pekerja mendesak manajemen untuk tidak memberikan peringkat penilaian kinerja yang rendah sebagai alasan untuk pemberhentian. Penilaian kinerja tahunan yang dikenal sebagai Google Reviews and Development (GRAD) sudah dekat, dan karyawan khawatir akan adanya tekanan untuk memberikan penilaian negatif pada rekan kerja.
Karyawan Google juga meminta jaminan pesangon yang setara dengan yang ditawarkan kepada karyawan yang diberhentikan pada Januari 2023 lalu, ketika perusahaan memecat lebih dari 12.000 karyawan. Paket pesangon pada saat itu mencakup gaji 16 minggu ditambah dua minggu untuk setiap tahun tambahan yang telah dihabiskan karyawan di perusahaan. Tuntutan ini mencerminkan kebutuhan akan kepastian dan keadilan dalam proses PHK yang akan datang.
Menurut laporan, Chief Financial Officer (CFO) Google Anat Ashkenazi menyatakan bahwa efisiensi anggaran menjadi salah satu prioritas utama mereka. Dia mengungkapkan rencana untuk memfokuskan pengeluaran pada infrastruktur teknologi kecerdasan buatan (AI) di tahun 2025. “Setiap organisasi selalu dapat melangkah lebih jauh, dan saya akan mencari peluang tambahan,” ujarnya saat pernyataan pada Oktober 2024. Namun, pernyataan ini tidak sejalan dengan meningkatnya rasa khawatir di kalangan karyawan akan keamanan pekerjaan mereka.
Dalam konteks ini, protes oleh karyawan Google bukan hanya sekadar reaksi terhadap rencana PHK, tetapi juga mencerminkan kekhawatiran yang lebih luas mengenai kondisi ketenagakerjaan di industri teknologi. Mereka merasa perlu untuk bersuara demi melindungi karier dan hak-hak mereka, terutama ketika perusahaan yang mereka layani tampak stabil secara finansial namun mengabaikan komitmen terhadap karyawan.
Situasi ini memberikan gambaran tentang tekanan yang dihadapi pekerja di era modern, di mana efisiensi dan penghematan biaya sering kali menjadi prioritas utama perusahaan, sering mengabaikan aspek kesejahteraan karyawan. Dengan protes ini, Google mungkin akan mempertimbangkan kembali rencana mereka, agar tetap menjunjung tinggi nilai perusahaan dan melindungi karyawan yang telah berkontribusi dalam kesuksesan mereka selama ini.