
Pengamat politik, Rocky Gerung, memberikan penilaian tajam terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, menyebutnya sebagai beban bagi Presiden Prabowo Subianto. Dalam pandangannya, Gibran tidak hanya gagal memberikan ide-ide konstruktif tetapi juga terjebak dalam aktivitas yang, meskipun terlihat aktif, tidak memberikan kontribusi signifikan bagi negara. Ulasan ini disampaikan Rocky melalui akun YouTube-nya, yang ditonton oleh banyak pihak pada 8 Maret 2025.
Rocky menyoroti bahwa saat ini Prabowo belum mampu lepas dari bayang-bayang mantan Presiden Jokowi dan anaknya, Gibran. Ia menyatakan bahwa Prabowo kini menghadapi ketidakseimbangan antara janji-janji kampanyenya yang harus dipenuhi dan ekspektasi publik yang semakin meningkat. Dalam pandangan Rocky, masyarakat mendesak Prabowo segera mengambil jarak dari citra yang melekat dari pemerintahan sebelumnya, termasuk menghadapi tuntutan untuk mempertanggungjawabkan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Jokowi.
“Situasi ini menuntut Prabowo untuk cepat merespons permintaan publik yang ingin melihat realisasi dari janji-janji besar itu,” kata Rocky. Ia menambahkan bahwa publik saat ini mempertanyakan kapasitas Gibran, yang sebagai Wakil Presiden, diharapkan mampu memberikan pencerahan dengan gagasan-gagasan baru namun menunjukkan kegagalan untuk melakukannya.
Rocky mengamati aktivitas Gibran yang mengetuk-ngetuk pintu lokasi banjir dengan menggulung celana, menilai tindakan tersebut tidak lebih dari sekadar sensasi di depan kamera. “Memang Wakil Presiden punya kesibukan bolak-balik ke gulung celana, ke tempat-tempat banjir, tapi itu bukan sesuatu yang konseptual. Ini adalah reaksi yang tidak menghasilkan solusi strategis untuk mengatasi masalah yang ada,” terangnya.
Seiring berjalannya waktu, Rocky berpendapat bahwa kesibukan Gibran tidak terhubung dengan upaya-upaya membenahi bangsa secara menyeluruh. “Dia terlihat hadir secara fisik di banyak lokasi, namun seperti tidak ada langkah-langkah yang terencana untuk mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi, maupun politik yang dihadapi negara saat ini,” tambahnya.
Dalam pandangan Rocky, Gibran seharusnya mengambil peran lebih aktif dalam memetakan strategis pemerintahan dan memastikan bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil sejalan dengan harapan publik. Namun, ketidakmampuan untuk menghasilkan ide-ide tersebut justru menjadikannya sebagai sorotan publik, namun dalam konteks yang negatif.
“Akibatnya, Wapres menjadi sorotan di media, tapi bukan karena upaya-inovatif, melainkan aktivitas fisik yang cenderung banal,” klaim Rocky. Dengan kata lain, perhatian publik terhadap Gibran lebih difokuskan pada jam terbang fisiknya alih-alih kontribusi intelektual yang nyata dan berpengaruh.
Rocky juga menyarankan agar Gibran dapat memperbaiki situasi ini dengan cara yang lebih substansial. Ia berargumen bahwa tugasnya seharusnya bukan hanya menghadiri lokasi bencana; ia seharusnya lebih berfokus pada internal kabinet untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi masalah yang dihadapi. “Dia harusnya bisa melihat potensi masalah di dalam pemerintahan dan menyiapkan langkah-langkah strategis,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Rocky menekankan bahwa situasi tersebut merupakan beban yang harus diselesaikan oleh Presiden Prabowo secara konseptual dan strategis. Dalam konteks ini, Rocky mengungkapkan bahwa ketidakmampuan Gibran dalam menyumbangkan ide strategis menunjukkan perhatian publik yang masih tinggi terhadap kinerja pemerintahan.
“Ini adalah tantangan nyata bagi Prabowo dan Gibran, dan bagi banyak rakyat Indonesia, yang menantikan solusi yang lebih konkret dan terukur dalam mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi saat ini,” pungkas Rocky.