
Nilai tukar rupiah kembali mengalami pelemahan yang signifikan, mendekati level Rp17.000 per dolar AS. Pada pembukaan perdagangan di hari Selasa, 8 April 2025, nilai rupiah terdepresiasi sebesar 24 poin atau 0,14 persen, bergerak dari Rp16.882 menjadi Rp16.846 per dolar AS. Menurut analis keuangan, penyebab utama dari penurunan ini dapat ditelusuri pada rencana penerapan tarif impor oleh Amerika Serikat.
Lukman Leong, analis dari Doo Financial Futures, menjelaskan bahwa sentimen “risk off” masih menguasai pasar, di mana investor cenderung menghindari risiko dengan berinvestasi di aset yang dianggap lebih aman. “Sentimen ini dipicu oleh pernyataan Menteri Perdagangan AS yang menegaskan bahwa penerapan tarif tidak akan mengalami penundaan,” ungkap Lukman. Rencana tersebut mencakup penerapan tarif sebesar 32 persen untuk barang-barang yang diimpor dari Indonesia, yang dimulai pada 5 April 2025.
Pemerintahan Presiden AS, Donald Trump, sebelumnya mengumumkan rencana kenaikan tarif sebesar minimum 10 persen untuk berbagai produk dari sejumlah negara, termasuk Indonesia. Kenaikan tarif baru tersebut juga berimbas pada negara-negara di Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia, Kamboja, Vietnam, dan Thailand yang masing-masing dikenakan tarif yang bervariasi mulai 24 persen hingga 49 persen.
Tarif-tarif ini merupakan bagian dari strategi pemerintah AS untuk menghadapi ketidakseimbangan perdagangan yang dianggap merugikan mereka. Trump mendasarkan argumentasinya pada keyakinan bahwa praktek perdagangan negara lain, termasuk Indonesia dan negara-negara Asia lainnya, tidak adil dan perlu diubah untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja domestik. “Trump hanya mau kesepakatan dengan China apabila defisit perdagangan bisa diselesaikan,” tambah Lukman.
Terkait dengan dampak kebijakan tersebut, para ekonom memperingatkan bahwa tekanan pada nilai rupiah diperkirakan akan berlanjut selama ketegangan perang dagang antara AS dan negara lain masih ada. Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan terus berupaya untuk menjaga stabilitas rupiah, dengan kemungkinan intervensi di pasar untuk mempertahankan rupiah dalam rentang yang lebih stabil, tidak jauh dari level psikologis Rp17.000. “Tanpa intervensi dari BI, sangat sulit untuk mencegah rupiah melewati batas Rp17.000,” ujar Lukman.
Sebagai informasi tambahan, sebelum tarif baru ini diterapkan, AS juga telah mengenakan tarif tambahan sebesar 25 persen untuk mobil yang diproduksi di luar negeri dan bea impor sebesar 20 persen untuk barang-barang asal China. Konsekuensi dari perang dagang ini bukan hanya dirasakan di Indonesia, melainkan juga berdampak pada hubungan dagang AS dengan negara-negara lain, seperti China yang telah merespon dengan penerapan tarif balasan.
Dalam konteks yang lebih luas, ketegangan perdagangan antara AS dan negara lain memberi signal kepada pasar global tentang potensi instabilitas yang dapat mempengaruhi nilai tukar mata uang negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Analis mengingatkan, ketidakpastian yang timbul akibat kebijakan perdagangan ini dapat berimbas pada berbagai sektor ekonomi.
Investor dan pelaku pasar kini harus memantau perkembangan situasi ini dengan seksama, mengingat dampaknya tidak hanya terbatas pada nilai tukar rupiah, tetapi juga dapat menyebar hingga menyentuh sektor-sektor lain dalam perekonomian Indonesia. Di tengah ancaman yang ada, penting bagi pemerintah dan BI untuk terus mencari langkah strategis untuk menjaga stabilitas ekonomi domestik sekaligus menghadapi tantangan dari luar.