
Jakarta, Podme.id – Revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (RUU P2MI) secara resmi menjadi inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). RUU ini diharapkan mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh pekerja migran Indonesia (PMI), khususnya dalam upaya pencegahan terhadap tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan perbudakan modern.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Evita Nursanty, menegaskan bahwa permasalahan TPPO yang kini semakin marak memerlukan perhatian serius. “RUU P2MI diharapkan dapat memperketat regulasi dan memberikan sanksi tegas bagi agen tenaga kerja ilegal yang mengeksploitasi PMI,” ujarnya pada Sabtu (22/3/2025). UU ini merupakan langkah penting untuk menyusun payung hukum yang melindungi PMI dari berbagai kejahatan kemanusiaan.
Berdasarkan data yang ada, TPPO bukan hanya sekadar masalah hukum, tetapi juga melibatkan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Bagi PMI, situasi ini sering kali bermula dari janji pekerjaan bergaji tinggi yang ternyata berujung pada penipuan. “Banyak dari mereka yang tertipu, disiksa, dipaksa bekerja tanpa mendapat imbalan yang layak, bahkan mengalami kekerasan fisik,” tambah Evita. Oleh karena itu, RUU P2MI perlu menjadi komprehensif dan menyediakan bantuan hukum bagi semua korban TPPO.
Dalam upaya melawan perbudakan modern dan TPPO, RUU P2MI mencakup serangkaian perubahan signifikan yang terdiri dari 29 poin. Di antara perubahan tersebut, terdapat Pasal 4 yang membahas kategori pekerjaan migran, Pasal 5 dan 6 mengenai syarat dan kewajiban bagi PMI, serta Pasal 8 yang memuat ketentuan perlindungan sebelum keberangkatan para pekerja. Melalui perubahan ini, diharapkan para PMI mendapatkan perlindungan yang lebih baik sebelum mereka berangkat ke negara tujuan.
Salah satu perubahan yang menonjol adalah penghapusan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), yang akan digantikan oleh Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Pendekatan baru ini diharapkan dapat menciptakan sistem yang lebih efisien dalam mengelola dan memantau keberangkatan serta perlindungan PMI saat berada di luar negeri.
Evita juga menekankan pentingnya pengawasan yang lebih ketat, terutama untuk keberangkatan PMI ke negara-negara yang berisiko tinggi akan eksploitasi dan kejahatan lainnya. “Negara perlu meningkatkan sistem pengawasan dan memastikan bahwa PMI mendapatkan semua hak-hak yang seharusnya mereka terima,” ungkapnya.
RUU P2MI ini juga bertujuan untuk memperkuat regulasi yang melindungi hak-hak pekerja selama mereka bekerja di luar negeri. Dengan adanya perundang-undangan ini, diharapkan PMI bisa terlindungi dari berbagai bentuk eksploitasi dan mendapat akses terhadap keadilan serta perlindungan hukum yang memadai.
Salah satu harapan dari RUU ini adalah agar penciptaan regulasi yang lebih ketat dapat mencegah terjadinya perbudakan modern dan TPPO di masa mendatang. “Kita harus memastikan bahwa PMI tidak hanya terlindungi dari TPPO, tetapi juga mendapatkan hak-hak mereka selama bekerja di luar negeri,” tutup Evita.
Melalui upaya penyempurnaan RUU P2MI, diharapkan dapat terbentuk ekosistem yang lebih aman dan adil bagi para pekerja migran Indonesia, sehingga mereka dapat bekerja dengan tenang dan berdaya saing di pasar internasional tanpa rasa khawatir akan tindakan eksploitasi ataupun kejahatan kemanusiaan.