
Amerika Serikat pernah mempertimbangkan ide yang dianggap sangat absurd dalam pengembangan senjata, yakni menciptakan bom gay yang ditujukan untuk mengganggu mental musuh. Pada tahun 1994, Wright Laboratory mengusulkan gagasan ini sebagai bagian dari riset senjata non-mematikan yang menghabiskan biaya mencapai 7,5 juta dolar AS. Ide ini dipicu oleh keinginan untuk menemukan metode baru dalam konflik tanpa mengorbankan nyawa.
Berdasarkan dokumen tiga halaman yang dibocorkan oleh The Sunshine Project, sebuah organisasi anti-bioweapon, bom tersebut dirancang untuk mengandung zat afrodisiak yang sangat kuat. Tujuannya bukan untuk melukai fisik lawan, melainkan untuk menciptakan ketertarikan seksual di antara tentara musuh, yang diharapkan akan mengacaukan konsentrasi dan operasional mereka. Tim peneliti menjelaskan, “Bayangkan, bom gay ini dirancang agar pasukan lawan menjadi ‘tak tertahankan satu sama lain’.”
Proposal ini tidak serta merta ditolak. Bahkan pada tahun 2002, usulan tersebut diajukan kepada National Academy of Sciences untuk ditinjau. Namun, tidak diketemukan bukti ilmiah yang mendukung efektivitas zat tersebut dalam memicu efek yang diinginkan. Alasan di balik gagasan ini harus dilihat dalam konteks sosial dan budaya pada saat itu, ketika homofobia masih merajalela dan menjadi bahan perdebatan dalam masyarakat, termasuk di kalangan militer.
Selain bom gay, Wright Laboratory juga melontarkan beberapa ide senjata lain yang dianggap tidak biasa. Di antaranya adalah bom kimia yang dirancang untuk menarik serangga dan hama, senjata berbasis bau untuk “menandai” tentara musuh, serta zat kimia yang bisa membuat kulit sensitif terhadap sinar matahari. Ada pula gagasan tentang bahan kimia yang dapat menyebabkan musuh mengalami kentut yang berlebihan atau bau napas yang menyengat. Semua ini menunjukkan seberapa jauh imajinasi para peneliti dalam menemukan cara untuk memenangkan perang tanpa menggunakan kekuatan mematikan.
Namun, Pentagon mengonfirmasi pada tahun 2005 bahwa meskipun mereka menerima ratusan proposal setiap tahunnya, rencana untuk mengembangkan bom gay tidak pernah diteruskan. Meski begitu, para ilmuwan yang terlibat dalam ide kontroversial ini akhirnya mendapatkan pengakuan yang tidak terduga, berupa IG Nobel Prize pada tahun 2007. Penghargaan ini diberikan untuk penelitian yang awalnya dianggap lucu dan konyol, namun sekaligus menyiratkan hal-hal yang lebih dalam untuk direnungkan.
Kini, Wright Laboratory tersebut telah menjadi bagian dari Air Force Research Laboratory (AFRL), yang lebih fokus pada pengembangan teknologi modern seperti senjata energi terarah dan sistem penolakan aktif. Meski demikian, kisah tentang bom gay sebagai alat untuk menghancurkan mental musuh tetap menjadi pengingat akan batasan antara inovasi dan absurditas dalam konteks militer.
Dalam dunia yang kini lebih terbuka terhadap berbagai orientasi seksual, ide tentang bom gay itu pun dinilai sebagai sesuatu yang keterlaluan dan tidak relevan. Namun, untuk menilik kembali sejarah, contoh ini menggarisbawahi betapa kreatifnya pendekatan yang diambil filsuf strategis dalam konflik dan bagaimana masyarakat bersikap terhadap berbagai gagasan yang ada.
Kisah ini merangsang pemikiran lebih lanjut tentang peran kreativitas dalam inovasi militer. Saat dunia terus berkembang, tantangan etika dan moral juga semakin kompleks, menuntut pendekatan yang lebih bijaksana dalam menciptakan solusi tanpa merugikan kemanusiaan.