Sampai Wafat, Lahan Mat Solar Tak Dibayar! Pernyataan Menteri Nusron

Isu lahan milik almarhum Mat Solar kembali mencuat setelah sang seniman yang terkenal itu wafat pada 18 Maret 2025. Lahan yang terdampak oleh proyek tol Cinere-Serpong ini hingga kini belum mendapatkan ganti rugi, memicu perhatian publik dan komentar dari beberapa pihak, termasuk Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid.

Dalam pernyataannya, Nusron menegaskan bahwa pembayaran ganti rugi lahan tidak bisa dilakukan selama masih ada sengketa hukum terkait lahan tersebut. "Kalau sengketa masih berjalan, tentu pembayaran belum bisa dilakukan. Biasanya, uang ganti rugi dititipkan di pengadilan melalui mekanisme konsinyasi. Setelah ada putusan hukum yang berkekuatan tetap (inkrah), baru bisa dicairkan kepada ahli waris," ujar Nusron kepada Podme.id di Jakarta.

Nusron menjelaskan kondisi mendesak yang dihadapi pemerintah. Proyek tol tidak bisa berhenti lama hanya karena adanya sengketa lahan. "Tidak mungkin proyek tol berhenti bertahun-tahun hanya karena sengketa lahan. Pemerintah menggunakan skema konsinyasi agar proyek tetap berjalan," tegasnya. Oleh karena itu, jika ada lahan yang masih dalam sengketa atau belum tercapai kesepakatan harga, pemerintah akan tetap melanjutkan pembangunan dengan menempatkan dana ganti rugi di pengadilan.

Berikut adalah alasan utama mengapa skema konsinyasi diterapkan dalam pengadaan lahan:

  1. Adanya sengketa hukum: Jika terjadi konflik antara pemilik lahan dan pihak pemrakarsa, dana ganti rugi akan dititipkan di pengadilan hingga ada keputusan hukum.
  2. Ketidaksepakatan harga: Ketika pemilik lahan meminta harga di atas nilai appraisal, dan tidak ada titik temu dalam negosiasi, maka dana ganti rugi akan disimpan di pengadilan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pengadaan Tanah.

Rieke Diah Pitaloka, seorang kolega Mat Solar dalam sitkom "Bajaj Bajuri" dan anggota Komisi VI DPR RI, juga turut menyoroti persoalan ini. Dalam serangkaian rapat dengan PT Jasa Marga (Persero) Tbk, Rieke menegaskan pentingnya menyelesaikan pembayaran ganti rugi yang tertunda hampir enam tahun. "Saya mendesak pemerintah dan Jasa Marga untuk segera menuntaskan pembayaran kepada pihak yang berhak," kata Rieke.

Situasi ini semakin mengkhawatirkan, terutama bagi ahli waris Mat Solar. Hingga saat ini, mereka harus berjuang untuk mendapatkan hak atas lahan yang hingga kini belum dibayarkan. Permasalahan ini mencerminkan tantangan yang sering terjadi dalam proses pengadaan lahan di Indonesia, di mana sengketa dan ketidaksepakatan mengenai nilai lahan kerap kali menghambat pembangunan infrastruktur.

Menteri Nusron juga mencatat bahwa spekulan lahan sering kali memperkeruh situasi, dengan mengajukan harga yang lebih tinggi dari nilai appraisal. Hal ini menambah kesulitan dalam pencairan dana ganti rugi, karena pemerintah harus mematuhi harga berdasarkan hasil appraisal. Rute panjang yang harus dilalui untuk menyelesaikan masalah lahan ini bisa memakan waktu, dan sering kali berdampak pada proyek-proyek vital seperti pembangunan jalan tol.

Kasus lahan Mat Solar menjadi simbol dari perjuangan untuk keadilan dalam pengadaan lahan, yang tidak hanya berdampak pada ahli waris tetapi juga pada masyarakat luas yang menunggu manfaat dari proyek infrastruktur. Keberlanjutan proyek pembangunan dan hak-hak individu dalam kepemilikan lahan harus dapat berjalan seiring, agar tidak hanya merugikan satu pihak.

Keputusan-keputusan mendatang dalam menyelesaikan sengketa lahan ini akan menjadi cermin bagi proses pengadaan tanah di masa yang akan datang, serta dampaknya bagi masyarakat dan proyek pembangunan yang berjalan. Dengan demikian, harapan akan keadilan bagi ahli waris Mat Solar dan pemilik lahan lainnya tetap menjadi prioritas dalam setiap keputusan yang diambil oleh pemerintah.

Exit mobile version