
Tiongkok mendesak penghentian sanksi sepihak terhadap Iran yang dianggap ilegal saat menjadi tuan rumah pertemuan dengan diplomat senior dari Iran dan Rusia. Pertemuan tersebut bertujuan untuk membuka kembali negosiasi mengenai program nuklir Iran yang telah lama terhenti, di tengah meningkatnya ketegangan internasional. Dalam pertemuan ini, Menteri Luar Negeri Tiongkok, Wang Yi, menyambut baik Wakil Menteri Luar Negeri Iran, Kazem Gharibabadi, dan Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Ryabkov, di Beijing.
Wang Yi dengan tegas menekankan bahwa kesepakatan nuklir Iran tahun 2015, yang dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), merupakan pencapaian penting yang diraih melalui dialog. Ia memperingatkan bahwa situasi saat ini telah mencapai “titik kritis” dan menyerukan penyelesaian melalui cara politik dan diplomatik. Selain itu, ia menentang penggunaan kekuatan serta penjatuhan sanksi sepihak. “Sekarang kita harus membeli waktu untuk perdamaian dan menentang sanksi ilegal,” kata Wang Yi, menunjukkan pentingnya pendekatan diplomatis.
Kementerian Luar Negeri Tiongkok juga mendesak Amerika Serikat untuk menunjukkan “ketulusan politik” dengan kembali ke meja perundingan secepat mungkin dan mencabut sanksi yang menghambat kemajuan. Ketegangan seputar program nuklir Iran semakin meningkat setelah AS menarik diri dari JCPOA pada tahun 2018 dan menerapkan kebijakan “tekanan maksimum” melalui sanksi ekonomi.
Presiden AS, Donald Trump, yang kembali menjabat pada Januari 2025, baru-baru ini menyerukan kesepakatan nuklir baru dengan Iran dan bahkan mengirim surat kepada Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei untuk mendorong perundingan. Namun, Trump juga memperingatkan kemungkinan tindakan militer jika Teheran menolak. Iran sendiri menyatakan bahwa surat tersebut sedang ditinjau, namun menekankan bahwa pencabutan sanksi harus dilakukan sebelum perundingan dapat dilanjutkan.
Dalam beberapa laporan, Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) mencatat bahwa Iran telah secara signifikan meningkatkan cadangan uraniumnya hingga 60 persen, hanya selangkah dari tingkat 90 persen yang dibutuhkan untuk senjata nuklir. Temuan ini memicu urgensi baru dalam upaya diplomasi global.
Wakil Menteri Luar Negeri Iran, Kazem Gharibabadi, menegaskan bahwa program nuklir negaranya bersifat damai dan tidak diperuntukkan bagi tujuan militer. Ia menyebutkan bahwa penarikan sepihak AS adalah akar penyebab krisis saat ini, serta memuji hasil pembicaraan di Beijing yang dianggapnya cukup konstruktif. Dukungan Tiongkok dan Rusia dalam hal ini sangat penting, dengan Rusia juga mengutuk sanksi ilegal terhadap Iran dan menyerukan kelanjutan upaya diplomatik.
Setelah pertemuan di Beijing, Duta Besar Iran untuk Tiongkok menyebut diskusi tersebut sebagai “keberhasilan total”. Ia menyoroti adanya kesepakatan trilateral antara Tiongkok, Iran, dan Rusia untuk menghadapi sanksi AS yang mereka anggap tidak sah. Di sisi lain, AS baru-baru ini menjatuhkan sanksi terhadap Menteri Perminyakan Iran, Mohsen Paknejad, serta perusahaan-perusahaan yang diduga terlibat dalam pengangkutan minyak Iran ke Tiongkok.
Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, mengulangi pentingnya pencabutan sanksi oleh AS sebagai syarat untuk kemajuan perundingan. Sementara itu, Ayatollah Khamenei menegaskan bahwa Iran tidak memiliki senjata nuklir dan tidak berniat untuk mengembangkannya.
Pembicaraan yang berlangsung di Beijing merupakan langkah penting dalam upaya menghidupkan kembali diplomasi nuklir dengan Iran, dengan Tiongkok berperan sebagai mediator kunci. Namun, keberhasilan negosiasi masih sangat bergantung pada kemauan AS untuk melonggarkan sanksi dan kesediaan semua pihak untuk menghindari eskalasi lebih lanjut. Kementerian Luar Negeri Tiongkok menekankan bahwa semua pihak harus senantiasa menahan diri dari tindakan yang dapat memperburuk situasi, demi tercapainya solusi damai yang berkelanjutan.