Dunia

Seperti Kelinci di Kandang: Hidup di Bawah Pos Pemeriksaan Tepi Barat

Kehidupan penduduk Tepi Barat saat ini terasa semakin menekan dengan penerapan pos pemeriksaan baru yang diterapkan pasca gencatan senjata di Gaza. Banyak warga yang merasakan dampak langsung dari kebijakan ini, yang mengubah cara mereka beraktivitas sehari-hari. Misalnya, Pastor Bashar Basiel dari desa Taybeh menggambarkan kekagetan masyarakat saat menemukan gerbang besi baru yang dipasang di pintu masuk desa mereka. Sebelum ini, mereka terbiasa dengan akses yang lebih leluasa, tetapi kini situasi berubah drastis.

“Pos pemeriksaan tetaplah pos pemeriksaan, tetapi sekarang kami dibatasi oleh gerbang,” jelas Anas Ahmad, seorang warga yang gestraped di kemacetan yang berkepanjangan akibat pengetatan akses. Pengemudi terpaksa menunggu selama berjam-jam untuk bisa melewati pemeriksaan yang lebih ketat, yang dinilai tidak pernah seketat ini sejak Intifada Kedua pada awal 2000-an.

Data dari Komisi Perlawanan Tembok Palestina menunjukkan ada 146 gerbang besi yang didirikan sejak perang Gaza dimulai, meningkatkan jumlah total blokade jalan di wilayah Palestina menjadi 898. Ketidakmampuan untuk bergerak bebas ini membuat banyak warga merasakan seperti hidup dalam penjara. Seorang warga Ramallah menggambarkan perasaannya dengan, “Seperti kelinci di dalam kandang,” menyoroti rasa kekecewaan dan pengawasan yang mengekang kebebasan mereka.

Dalam dua bulan terakhir, para pekerja di Tepi Barat melaporkan perjalanan mereka menjadi jauh lebih menyita waktu dan energi. “Seolah-olah mereka mengirimi kami pesan: tetaplah terjebak di kota Anda, jangan pergi ke mana pun,” ungkap Shadi Zahod, seorang pegawai pemerintah. Ia menceritakan setiap perjalanan yang biasanya singkat kini bisa menghabiskan waktu hingga tiga jam yang terbuang sia-sia akibat pos pemeriksaan.

Dari perspektif militer Israel, langkah ini diambil untuk menangkap orang-orang bersenjata yang dianggap berbahaya. Juru bicara militer Israel, Nadav Shoshani, menyatakan bahwa mereka melakukan hal ini untuk mencegah teroris melarikan diri sekaligus memberikan warga sipil kesempatan untuk beraktivitas. Namun, hal ini justru menambah beban psikologis dan praktis bagi penduduk setempat yang merasa hak-hak mereka dilanggar.

Sementara itu, laporan dari organisasi hak asasi manusia Israel, B’Tselem, menyebutkan bahwa perhatian pemerintah kini teralih dari Gaza ke wilayah Tepi Barat, dan pembatasan ini dipandang sebagai kebijakan sistematis yang semakin memperparah kondisi kehidupan rakyat Palestina. Peneliti dari Institut Penelitian Terapan Yerusalem memperkirakan pada tahun 2019 bahwa warga Palestina kehilangan 60 juta jam kerja setiap tahun akibat pembatasan yang diterapkan.

Perubahan ini bukan hanya berdampak pada rentang perjalanan, tetapi juga pada kesehatan mental dan kapasitas masyarakat untuk merencanakan masa depan. Pastor Basiel menekankan, “Hal terburuk yang kita hadapi sekarang adalah ketidakpastian tentang masa depan.” Ia mencatat bahwa keberadaan gerbang ini membuat warga tak bisa membuat rencana satu hari ke depan pun, menciptakan ketidakpastian yang membebani pikiran.

Dalam suasana yang mencekam ini, masyarakat Tepi Barat senantiasa berusaha untuk bertahan. Meski terasa seperti terkurung, mereka tetap berusaha menjalani kehidupan sehari-hari di tengah tantangan yang semakin kompleks. Semua ini menunjukkan bahwa kebebasan bergerak adalah hak dasar yang kini sangat terancam, dan dampak dari kebijakan ini akan terus dirasakan di seluruh Tepi Barat selama situasi tidak kunjung membaik.

Guntur Wibowo

Guntur Wibowo adalah seorang penulis di situs Media Massa Podme. Podme.id adalah portal berita informasi dan aplikasi podcast gaya hidup dan hiburan terdepan di Indonesia.

Berita Terkait

Back to top button