
Jakarta – Buang air besar (BAB) merupakan bagian penting dari proses pencernaan yang membantu tubuh membuang kotoran. Namun, tidak semua orang mampu buang air besar setiap hari. Beberapa orang mungkin hanya melakukannya dua hingga tiga kali dalam seminggu, sedangkan ada juga yang mengalami kesulitan dan hanya bisa melakukan itu sampai dua kali seminggu. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, seberapa sering seharusnya seseorang buang air besar, dan apakah tidak buang air besar setiap hari menandakan adanya masalah kesehatan?
Menurut dr. Babak Firoozi, seorang ahli gastroenterologi di MemorialCare Orange Coast Medical Center, tidak ada frekuensi buang air besar yang ditetapkan secara universal. Namun, umumnya, orang yang tidak memiliki masalah medis atau kondisi tertentu dapat BAB antara tiga kali sehari hingga tiga kali seminggu. Temuan ini didasarkan pada studi yang diterbitkan di Scandinavian Journal of Gastroenterology pada tahun 2010.
Riset tersebut menemukan bahwa sekitar 98 persen orang dewasa berfungsi dengan frekuensi buang air besar dalam batasan itu. Namun, dr. Firoozi menekankan bahwa penting untuk tidak panik jika seseorang tidak memenuhi frekuensi tersebut. Hal yang lebih penting adalah untuk memperhatikan pola normal individu. "Beberapa orang buang air besar setidaknya tiga kali seminggu, di sisi lain, beberapa orang melakukannya lebih dari sekali sehari. Selama itu adalah pola normal mereka, tidak ada yang perlu dikhawatirkan," katanya.
Meski demikian, perubahan mendadak dalam frekuensi BAB yang diikuti dengan keluhan ketidaknyamanan, nyeri, atau masalah pencernaan lainnya harus diwaspadai. "Jika Anda melihat perubahan mendadak dalam kebiasaan buang air besar, seperti sembelit yang terus-menerus atau peningkatan frekuensi buang air besar yang tidak terduga, sangat penting untuk berkonsultasi dengan tenaga medis," tutur dr. Firoozi.
Ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi frekuensi dan pola buang air besar seseorang, di antaranya:
Pola Makan: Konsumsi makanan rendah serat dapat membuat tinja lebih sulit dikeluarkan, sehingga meningkatkan risiko sembelit. Selain itu, asupan cairan yang cukup juga penting untuk menjaga konsistensi tinja.
Aktivitas Fisik: Olahraga teratur membantu meningkatkan motilitas usus dan mempercepat proses pencernaan, sehingga mempengaruhi frekuensi BAB.
Kondisi Medis: Beberapa masalah kesehatan seperti penyakit radang usus, gangguan tiroid, dan diabetes dapat mempengaruhi pergerakan usus. Sembelit fungsional dan sindrom iritasi usus besar (IBS) juga dapat menyebabkan perubahan dalam pola BAB.
Obat-obatan: Beberapa obat, seperti obat kemoterapi, bisa memperlambat pergerakan usus dan menyebabkan sembelit.
- Usia: Dengan bertambahnya usia, kebiasaan buang air besar bisa berubah. Sembelit lebih umum terjadi pada orang yang lebih tua, karena metabolisme dan motilitas usus cenderung melambat seiring waktu.
Mengetahui bahwa tidak ada frekuensi buang air besar yang direkomendasikan secara spesifik, individu harus lebih fokus pada pola tubuh mereka sendiri. dr. Andrew DuPont, seorang ahli gastroenterologi di UTHealth Houston, menyatakan bahwa beberapa orang mungkin memiliki waktu yang lebih lambat dalam melakukan BAB karena faktor biologis atau kondisi medis tertentu. "Yang paling penting adalah mendengarkan tubuh Anda dan melaporkan perubahan yang mencolok kepada dokter," tambahnya.
Dengan demikian, bukan hanya sekadar frekuensi yang perlu diperhatikan, tetapi juga kondisi tubuh secara keseluruhan serta perubahan yang mungkin terjadi pada ritme dan pola BAB. Memahami hal ini bisa membantu seseorang mengenali kapan saatnya untuk mencari bantuan medis ketika ada yang tidak beres dengan kesehatan pencernaan mereka.