Simon Tahamata, seorang legenda sepak bola asal Belanda berdarah Maluku, kerap mengungkapkan rasa sakit dan pengkhianatan yang dirasakan oleh komunitasnya. Dalam sebuah wawancara, ia menyatakan bahwa orang-orang Maluku yang secara sukarela mengorbankan nyawa untuk Belanda merasa dikhianati setelah perjuangan mereka.
Simon, yang lahir di barak Kamp Vught, merupakan keturunan dari Lambert Tahamata, seorang prajurit KNIL, dan ibunya, Octovina Leatemia. Ia mengungkapkan, “Ayah saya Lambert adalah prajurit KNIL. Lelaki yang sangat tegas. Ibu saya adalah seorang wanita yang sangat manis. Ia mesin keluarga. Ada 12 anak di rumah kami.” Dalam konteks sejarah, banyak anggota komunitas Maluku yang merasa terabaikan setelah berpindah ke Belanda di era 1950-an. Hal ini dipicu oleh gejolak politik yang melahirkan Republik Maluku Selatan (RMS) di bawah kepemimpinan Soumokil, mantan jaksa agung Negara Indonesia Timur (NIT).
Berkaitan dengan perjalanan hidup dan kariernya, Simon mengaku mulai menunjukkan ketertarikan terhadap perjuangan RMS saat usianya 19 tahun. Ia merasa perlu untuk memberikan suara bagi komunitasnya, merasa bahwa latar belakang Malukunya harus diperjuangkan. “Saya katakan bahwa saya bersimpati terhadap perjuangan orang Maluku. Saya merasa saya harus bersuara,” jelasnya.
Berbicara lebih lanjut, Simon menargetkan pemerintah Belanda dalam kritikannya. Ia menekankan bahwa banyak anggota komunitas Maluku berjuang di pihak Belanda selama masa-masa sulit, namun tidak mendapatkan perhatian yang layak dari pemerintah. “Bagaimana pemerintah Belanda memperlakukan ayah kami. Orang-orang itu berjuang demi bendera Belanda, banyak yang berkorban nyawa, tapi kemudian kami dikhianati,” ungkap Simon. Ia mengaitkan kritik ini dengan peristiwa pembajakan kereta api pada tahun 1977 yang dilakukan oleh sembilan pemuda Maluku sebagai bentuk protes terhadap perlakuan yang mereka terima.
Dalam pandangan Simon, aksi protes tersebut adalah panggilan untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan dari pemerintah. “Tidak ada seorang pun yang peduli pada penderitaan kami. Apa yang dilakukan pemuda itu di kereta api ialah bentuk teriakan untuk minta perhatian. Untuk pengakuan. Dan sejujurnya, saya bisa saja menjadi salah satu pembajak itu,” kata Simon, menegaskan betapa mendalamnya luka tersebut bagi komunitasnya.
Dalam konteks kewarganegaraan, Simon Tahamata baru mendapatkan status warga negara Belanda pada tahun 1976. Sebelumnya, sejak kedatangan keluarganya ke Belanda pada 1951, orang-orang Maluku tidak memiliki kewarganegaraan. Hal ini menambah rasa ketidakadilan bagi mereka yang sudah berjuang demi negara tersebut.
Sementara itu, di dunia sepak bola, Simon termasuk dalam jajaran pemain elite. Selama 17 tahun ia membela tim nasional Belanda, berprestasi di berbagai ajang internasional, dan berkontribusi pada klub-klub terkenal seperti Ajax Amsterdam dan Feyenoord Rotterdam. Setelah pensiun dari dunia sepak bola, ia beralih ke kepelatihan dan fokus pada pembinaan pemain muda, baik di akademi Ajax maupun di klub-klub lainnya.
Menghadapi masa lalu yang penuh konflik, Simon Tahamata adalah simbol kekuatan dan semangat perjuangan bagi komunitas Maluku. melaluinya, kita bisa memahami lebih dalam tentang bagaimana sejarah, pengorbanan, dan harapan masih sering bersinggungan dalam narasi kehidupan orang-orang Maluku yang merasa terlupakan di negara yang mereka layani dengan sepenuh hati. Perjuangan mereka, meskipun sering dikhianati, tetap terukir dalam sejarah yang panjang dan penuh warna.