Skandal Oplosan BBM: Pertamina Rugikan Negara Triliunan Rupiah!

Kasus dugaan korupsi yang melibatkan pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) antara Pertamax dan Pertalite oleh PT Pertamina Patra Niaga memicu perhatian publik dan merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun. Penyelidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap praktik pengoplosan yang melanggar hukum ini, di mana Pertalite dibeli dengan harga Pertamax, kemudian dicampur agar menyerupai produk berkualitas tinggi. Aksi ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga menipu masyarakat yang mengharapkan BBM berkualitas saat mereka mengisi bahan bakar dengan harga yang lebih tinggi.

Kejagung menyoroti keterlibatan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, yang diduga melakukan pembelian Pertalite (RON 90) dengan harga Pertamax (RON 92). Modus operandi ini merupakan pelanggaran jelas terhadap ketentuan yang ada dan berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi keuangan negara. Selain Riva, beberapa petinggi lain di lingkungan Pertamina juga ditetapkan sebagai tersangka. Di antara mereka terdapat:

1. Yoki Firnandi – Direktur Utama PT Pertamina International Shipping
2. Sani Dinar Saifuddin – Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional
3. Agus Purwono – VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional

Selain itu, tiga broker yang terlibat dalam penyediaan dan distribusi minyak mentah juga menjadi tersangka dalam kasus ini. Penanganan kasus ini membuka mata tentang betapa meluasnya praktik korupsi yang berpotensi merusak kepercayaan masyarakat kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Mantan Ketua Komisi Advokasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rolas Sitinjak, menilai tindakan pengoplosan ini melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Menurutnya, konsumen seharusnya menerima produk BBM yang sesuai dengan label kualitas yang tertera. Nyatanya, mereka mendapatkan produk oplosan yang tidak memenuhi standar dan kondisi yang berisiko bagi kendaraan.

Sejumlah dampak teknis juga muncul dari penggunaan BBM campuran ini. Pakar otomotif dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Jayan Sentanuhady, menyatakan bahwa BBM oktan rendah dapat menyebabkan masalah pada mesin kendaraan berteknologi tinggi. Diantaranya, pembakaran yang tidak sempurna, knocking, penurunan akselerasi, serta penumpukan kerak karbon pada mesin, yang dapat mengganggu performa dan umur mesin.

Wakil Ketua Komisi VI DPR, Eko Hendro Purnomo, menekankan bahwa korupsi di Pertamina ini mencoreng reputasi BUMN dan menunjukkan perlunya penguatan pengawasan internal serta penerapan sanksi tegas bagi pelaku. Ia menyerukan agar manajemen BUMN menerapkan hukum secara ketat guna mencegah celah kecurangan di masa depan. “Transparansi dan akuntabilitas harus ditingkatkan agar publik kembali percaya pada Pertamina,” ungkapnya.

Sejauh ini, pihak Pertamina melalui VP Corporate Communication, Fadjar Djoko Santoso, membantah tuduhan pengoplosan BBM. Ia mengklaim bahwa Pertamax yang beredar telah memenuhi standar spesifikasi yang berlaku. Meskipun demikian, Kejagung tetap melanjutkan penyidikan dan telah menetapkan tujuh tersangka utama. Investigasi ini menjadi sorotan karena mencerminkan lemahnya sistem pengawasan internal di tubuh BUMN tersebut.

Pemerintah dan DPR saat ini dalam tekanan untuk melakukan audit mendalam terhadap Pertamina. Audit ini tidak hanya perlu mencakup sektor distribusi BBM, tetapi juga seluruh lini bisnis yang dikelola Pertamina. Jika tidak ditangani secara serius, kasus ini dapat menambah jarak antara masyarakat dan kepercayaan mereka terhadap BUMN, khususnya di sektor energi yang sangat vital bagi perekonomian negara. Dengan banyaknya keterlibatan pihak dalam skandal ini, publik menunggu perkembangan penyelidikan yang diharapkan dapat memberikan keadilan dan mengembalikan kepercayaan masyarakat.

Berita Terkait

Back to top button