Bisnis

Sritex Tertekan Utang, Masa Depannya Gelap dan Suram!

Kabar terbaru mengenai PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu pelaku besar dalam industri tekstil Indonesia, telah menggemparkan publik. Setelah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang, perusahaan yang pernah menjadi simbol kejayaan nasional kini menghadapi tantangan berat dalam keberlangsungan usahanya. Dalam kondisi ini, muncul pertanyaan apakah Sritex mampu bertahan atau akan mengalami “going concern” yang suram.

Sritex kini terjebak dalam tumpukan utang yang mengkhawatirkan serta kinerja keuangan yang semakin memburuk. Ekspansi bisnis yang dilakukan secara agresif, ditambah dengan dampak pandemi COVID-19, menjadi beban berat bagi perusahaan yang telah bertahan selama beberapa dekade. Dalam laporan terakhir, total utang Sritex tercatat mencapai USD 1,6 miliar, atau sekitar Rp 25,12 triliun, terdiri dari liabilitas jangka panjang USD 1,47 miliar dan liabilitas jangka pendek USD 131,42 juta.

Di tengah krisis ini, manajemen Sritex berupaya menganalisis situasi untuk merumuskan langkah selanjutnya. Iwan Kurniawan Lukminto, Direktur Utama Sritex, menegaskan pentingnya penilaian yang komprehensif sebelum mengajukan rencana keberlanjutan usaha. “Kita lihat data dulu seluruhnya, menganalisa ke depan seperti apa,” ungkapnya dalam pernyataan yang disampaikan di Semarang.

Dalam pandangan Iwan, harapan masih ada untuk mempertahankan industri tekstil yang menjadi tulang punggung ekonomi di Jawa Tengah dan menyerap ribuan tenaga kerja. Namun, kondisi demikian tidak bisa dilepaskan dari kenyataan pahit yang mengharuskan Sritex menghadapi kepailitan. Apabila kurator memutuskan untuk mengambil alih, Iwan menyatakan kesediaannya untuk memberikan kendali penuh kepada mereka.

Denny Ardiansyah, kurator pailit Sritex, menyampaikan bahwa potensi keberlanjutan usaha tergantung pada hasil uji kelayakan yang akan dilakukan oleh auditor independen. Uji kelayakan ini bertujuan untuk mengevaluasi apakah Sritex masih memiliki peluang untuk menghasilkan keuntungan dan memenuhi kewajiban utangnya. “Kalau harus berlanjut harus berdasarkan uji kelayakan usaha. Kurator siap menghadirkan auditor independen untuk melakukan uji kelayakan usaha Sritex,” tegas Denny.

Rekapitulasi data menunjukkan bahwa lebih dari 28 bank terlibat dalam utang Sritex, dengan nilai total mencapai USD 809,99 juta, atau sekitar Rp 12,72 triliun. Situasi ini semakin memperburuk porsi defisiensi modal Sritex, yang tercatat mencapai -USD 980,56 juta. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan keuangan yang harus dihadapi sangat kompleks dan membutuhkan perhatian serius dari semua pihak terkait.

Pengadilan Niaga Semarang mengabulkan permohonan pembatalan perdamaian yang diajukan oleh PT Indo Bharat Rayon, salah satu kreditur utama Sritex, terkait permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Keputusan ini menggambarkan ambang batas kritis yang dihadapi Sritex dan menjadi sinyal bahwa resolusi terhadap masalah utang perlu segera dicari.

Kondisi sekarang menempatkan Sritex pada persimpangan jalan. Jika hasil uji kelayakan menunjukkan bahwa Sritex masih memiliki potensi untuk beroperasi, langkah restrukturisasi utang dan operasional akan menjadi langkah selanjutnya. Namun, jika hasilnya negatif, kemungkinan besar perusahaan akan terjebak dalam siklus kepailitan yang berkepanjangan.

Menyikapi kabar yang berkembang, banyak pihak berharap Sritex mampu bangkit dari keterpurukan ini. Upaya bersama antara manajemen, kreditur, dan karyawan menjadi elemen kunci untuk menghindari penutupan permanen perusahaan. Dalam era tantangan bisnis yang semakin ketat, perjalanan Sritex di masa depan masih dipertanyakan, namun harapan untuk memperbaiki nasib masih membara di hati setiap individu yang peduli terhadap masa depan industri tekstil di Indonesia.

Rina Lestari adalah seorang penulis di situs Media Massa Podme. Podme.id adalah portal berita informasi dan aplikasi podcast gaya hidup dan hiburan terdepan di Indonesia.

Berita Terkait

Back to top button