
Staf Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Kusnadi, telah resmi mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan ini menyangkut proses penyitaan barang-barang pribadi, termasuk handphone dan buku catatan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Istilah praperadilan merujuk pada mekanisme hukum yang memungkinkan individu menggugat tindakan penyidik sebelum kasusnya diajukan ke pengadilan.
Gugatan ini telah teregister dengan nomor perkara 39/Pid.Pra/2025/PN JKT.SEL dan dijadwalkan untuk sidang perdana pada tanggal 24 Maret 2025. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Djuyamto, telah menunjuk hakim tunggal Samuel Ginting untuk menangani kasus ini. Hal ini menunjukkan bahwa proses hukum akan berlanjut dan menarik perhatian publik, mengingat latar belakang yang kompleks dalam kasus ini.
Kejadian ini bermula ketika Kusnadi menghadiri pemeriksaan sebagai saksi untuk tersangka Harun Masiku. Dalam proses tersebut, penyidik KPK melakukan penggeledahan yang berujung pada penyitaan barang-barang pribadi Kusnadi dan Hasto Kristiyanto, di mana di antaranya terdiri dari:
1. Tiga unit handphone.
2. Kartu ATM.
3. Buku catatan.
Penyitaan barang-barang milik Hasto dan Kusnadi ini menuai protes kuat dari pihak tim hukum yang merasa tindakan KPK melanggar hak asasi manusia. Pada tanggal 12 Juni 2024, Kusnadi bersama tim hukumnya melaporkan KPK ke Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), menyatakan bahwa lembaga antirasuah tersebut telah bertindak sewenang-wenang dalam proses penyitaan.
Selanjutnya, pada 13 Juni 2024, mereka juga melapor ke Bareskrim Mabes Polri untuk mencari kejelasan mengenai tindakan penyidik KPK tersebut. Meski laporan terkait dugaan perampasan kemerdekaan dan barang milik pribadi itu ditolak, tim Kusnadi disarankan untuk mengambil langkah hukum dengan mengajukan gugatan praperadilan.
Kusnadi dan tim hukumnya menganggap langkah KPK dalam penyitaan barang-barang tersebut melanggar prosedur hukum yang berlaku. Hasto Kristiyanto, selaku Sekjen PDIP, mengungkapkan keprihatinan dan menganggap bahwa apa yang dialaminya adalah bentuk kriminalisasi oleh KPK. Dalam pernyataannya, Hasto mengatakan, “Saya semakin meyakini bahwa ini adalah kriminalisasi hukum, bahwa ini adalah pengungkapan suatu pokok perkara yang sudah inkrah, yang didaur ulang karena kepentingan-kepentingan politik di luarnya.”
Proses hukum yang sedang berlangsung ini menarik perhatian luas, terutama di kalangan pengamat politik dan masyarakat. Beberapa aktivis hukum dan pengamat melihat ini sebagai contoh bagaimana proses hukum dapat menjadi alat politik. Mereka menyoroti pentingnya transparansi dalam penyidikan dan penegakan hukum, terlebih ketika berkaitan dengan pejabat publik.
Menuju sidang perdana yang dijadwalkan pada 24 Maret 2025, tlah ada spekulasi mengenai dampak lebih luas dari gugatan ini, baik untuk KPK maupun untuk PDIP sebagai partai yang memiliki sejarah panjang dalam politik Indonesia. KPK diharapkan tetap dapat menjalankan tugasnya dalam pemberantasan korupsi tanpa terpengaruh oleh tekanan politik, sementara masyarakat menunggu hasil dari proses praperadilan ini.
Pihak Kusnadi juga berharap bahwa keputusan sidang praperadilan ini dapat memberikan kejelasan mengenai legalitas tindakan KPK selama penyidikan. Perkembangan berikutnya akan sangat dinanti-nanti oleh banyak kalangan, mengingat kasus ini tidak hanya berkaitan dengan individu, tetapi juga reputasi sebuah lembaga dan sebuah partai besar di Indonesia.