Bisnis

Strategi Mitigasi Risiko Akseleran di Tengah Gugatan Lender P2P Lending

Maraknya gugatan dari pihak lender terhadap platform fintech peer-to-peer (P2P) lending di Indonesia telah meningkatkan perhatian terhadap pembagian risiko antara lender dan platform. Beberapa kasus mencolok, seperti gugatan yang diajukan oleh Josua Decardo Siregar terhadap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan permintaan ganti rugi senilai Rp300 juta dari lender Modal Rakyat, Haryani, menunjukkan kekhawatiran yang berkembang di kalangan lender terkait perlindungan dana mereka.

Ivan Nikolas, Group CEO dan Co-Founder Akseleran, menegaskan bahwa secara hukum, platform P2P lending berfungsi sebagai perantara antara lender dan borrower dan tidak seharusnya menanggung risiko langsung. Ia menjelaskan bahwa strategi mitigasi risiko Akseleran berfokus pada dua aspek utama:

  1. Assessment Pinjaman yang Prudent: Akseleran melakukan penilaian pinjaman dengan hati-hati untuk menjaga agar Non-Performing Loan (NPL) tetap rendah. Ivan menekankan bahwa langkah ini adalah kunci kesuksesan dalam menjaga kepercayaan lender.

  2. Penyediaan Credit Insurance: Untuk lebih membagi risiko, Akseleran menyediakan asuransi kredit yang memungkinkan lender untuk melindungi dananya. Ini penting dalam menciptakan keamanan lebih bagi para lender di platform tersebut.

Di sisi lain, Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital dari Center of Economic and Law Studies (Celios), mengingatkan bahwa risiko yang muncul dalam pendanaan P2P lending merupakan bagian yang tak terpisahkan dari investasi. Ia menjelaskan bahwa lender perlu memahami bahwa investasi di pinjaman daring memiliki risiko, dan potensi manfaatnya bisa lebih besar dibanding instrumen investasi lainnya. Dalam hal ini, pembagian risiko menjadi krusial. Huda menyoroti beberapa poin penting mengenai mitigasi risiko:

  • Analisis Kemampuan Bayar Borrower: Platform harus melakukan analisis menyeluruh untuk menilai kemampuan bayar borrower agar tingkat gagal bayar bisa ditekan. Hal ini penting agar lender mendapatkan informasi yang jelas sebelum menyalurkan dananya.

  • Perlindungan untuk Lender: Huda mencatat bahwa regulasi dari OJK umumnya lebih memfokuskan perhatian pada borrower, dengan perlindungan bagi lender yang masih tergolong rendah. Ia menekankan betapa pentingnya bagi OJK untuk membuat aturan yang seimbang, memperhatikan semua pihak yang terlibat dalam ekosistem P2P lending.

Huda menegaskan bahwa platform P2P lending memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan transparansi dan keamanan bagi lender. “Pihak platform harus menunjukkan dan menyediakan informasi yang memadai tentang kemampuan bayar borrower secara sempurna kepada lender,” ujarnya. Dengan cara ini, lender dapat membuat keputusan yang lebih baik dalam berinvestasi.

Kekhawatiran lender juga menjadi sorotan di beberapa forum diskusi industri, di mana banyak yang merasa bahwa tanpa perlindungan yang memadai, makna dari investasi dalam P2P lending bisa menjadi double-edged sword. Oleh karena itu, penyesuaian regulasi dan kebijakan diperlukan agar para lender merasa aman saat berpartisipasi.

Sebagai langkah tambahan, edukasi bagi lender juga sangat penting. Masyarakat umum perlu lebih memahami dinamika yang terjadi dalam P2P lending dan potensi risikonya agar mereka dapat berinvestasi dengan bijak. Dengan bijak dan cermat, mereka dapat meminimalkan risiko yang ada dan memaksimalkan potensi keuntungan dari investasi mereka.

Situasi yang ada saat ini mengharuskan semua pihak untuk lebih proaktif. Baik lender, platform, maupun regulator seperti OJK harus saling bekerja sama dalam menciptakan ekosistem yang aman, transparan, dan adil untuk semua pihak yang terlibat. Hal ini bukan hanya penting untuk meningkatkan kepercayaan, tetapi juga untuk memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan dari industri fintech di Indonesia.

Rina Lestari adalah seorang penulis di situs Media Massa Podme. Podme.id adalah portal berita informasi dan aplikasi podcast gaya hidup dan hiburan terdepan di Indonesia.

Berita Terkait

Back to top button