Surat penangkapan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terkait dugaan kejahatan perang di Sudan, khususnya di wilayah Darfur, kini menjadi sorotan global. Permasalahan ini tengah dibahas secara intensif dalam sesi Dewan Keamanan PBB yang berlangsung pada 28 Januari lalu, di mana Karim Khan, Kepala ICC, mengungkapkan kondisi darurat yang dialami oleh masyarakat di Darfur.
Khan melaporkan bahwa situasi di Darfur semakin memburuk, dengan meningkatnya konflik bersenjata dan kelaparan yang melanda. Dalam pernyataannya, ia menekankan bahwa perempuan dan anak-anak menjadi sasaran utama dalam kekerasan yang terjadi. “Kelaparan terjadi di Darfur. Konflik meningkat. Anak-anak menjadi target. Anak perempuan dan perempuan menjadi korban pemerkosaan,” ujar Khan, menekankan keprihatinannya terhadap tragedi kemanusiaan yang sedang berlangsung.
Berbicara mengenai bukti-bukti yang ada, Khan menegaskan bahwa analisis yang dilakukan oleh kantornya bukanlah sekadar penilaian umum tanpa kekuatan data. Dia mengatakan, “Ini bukan penilaian dari laporan yang tidak terverifikasi. Ini adalah analisis tajam yang telah dicapai kantor saya berdasarkan bukti dan informasi yang dikumpulkan dan ditinjau.” Dengan penegasan ini, Khan mengisyaratkan bahwa surat perintah penangkapan yang akan dikeluarkan berdasar pada keterangan yang kuat dan terverifikasi.
Menurut Khan, kekerasan berbasis gender merupakan salah satu fokus utama dari penyelidikan yang dilakukan. Kejahatan yang menargetkan perempuan dan anak-anak ditinjau sebagai pelanggaran serius yang harus diberantas. “Saya dapat mengonfirmasi hari ini bahwa kantor saya sedang mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengajukan surat perintah penangkapan terkait kejahatan yang kami duga sedang dan telah dilakukan di Darfur Barat,” ungkapnya.
Salah satu elemen penting yang diangkat dalam sesi tersebut adalah pematuhaan terhadap hukum humaniter internasional. Khan meminta semua pihak yang terlibat dalam konflik untuk mematuhi hukum ini, bukan hanya sebagai formalitas tetapi sebagai tanggung jawab kemanusiaan. “Sekarang, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, demi kebaikan bersama, patuhilah hukum humaniter internasional,” serunya.
Konflik di Sudan, yang dimulai pada April 2023, melibatkan dua kekuatan besar, yakni paramiliter Rapid Support Forces (RSF) dan tentara Sudan. Kedua belah pihak saling menuduh satu sama lain melakukan kejahatan perang, termasuk