
Di tengah dinamika politik dan penolakan masyarakat terhadap beberapa regulasi, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tampaknya siap mengebut pembahasan Revisi Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (RUU Polri). Hal ini dikemukakan oleh Anggota Komisi III DPR RI, Soesedon Tandra, yang menilai bahwa pembahasan RUU Polri sangat penting mengingat adanya penyesuaian yang harus dilakukan dengan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sedang dalam proses pembahasan.
Dalam keterangannya, Soesedon menegaskan bahwa RUU Polri dan juga RUU Kejaksaan perlu mendapat perhatian lebih dalam waktu dekat. “Kalau saya melihat perlu. Kenapa? Karena kita menyambut KUHP baru, juga KUHAP yang baru,” ungkapnya dalam sebuah pernyataan di Jakarta. Pernyataan ini menunjukkan keseriusan DPR untuk tidak hanya memperbarui regulasi, tetapi juga untuk memastikan bahwa sejumlah peraturan baru saling berhubungan dan saling mendukung.
Sebagai partai yang banyak turut terlibat dalam proses legislasi, partai Golkar diwakili oleh Soesedon menekankan bahwa pembahasan kedua RUU tersebut harus segera dilakukan agar dapat sejalan dengan perubahan yang ada di hukum utama Indonesia.
Sementara itu, posisi Partai NasDem di DPR juga menunjukkan dukungan serupa. Rudianto Lallo, Ketua Kelompok Fraksi NasDem di Komisi III, menyatakan kesiapannya untuk membahas RUU Polri dan RUU Kejaksaan. Meskipun demikian, ia juga menekankan bahwa saat ini komisi mereka masih dalam proses menyelesaikan RUU KUHAP. “Tentu kalau dilihat mendesak dibahas RUU Kejaksaan, RUU Kepolisian, kita siap saja di Komisi III untuk membahasnya,” ujarnya menandakan fleksibilitas dalam menangani urusan legislasi yang mendesak.
Namun, tidak semua pendapat mendukung percepatan pembahasan RUU Polri. Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati Tangka, mengungkapkan penolakannya terhadap revisi undang-undang tersebut. Ia berpendapat bahwa pengaturan yang ada saat ini sudah cukup, dan pihaknya lebih mendukung penguatan pelaksanaan serta pengawasan daripada merevisi undang-undang. “Bahwa institusi kepolisian ini diperbaiki di dalam. Itu saja, tidak perlu melalui revisi undang-undang,” tuturnya dengan jelas.
Mike menambahkan bahwa pembenahan Polri lebih baik dilakukan melalui penguatan sanksi terhadap pelanggaran yang ada, serta dengan memperjelas dan memperkuat mekanisme pengawasan. Menurutnya, keterlibatan masyarakat dalam memantau kinerja kepolisian harus diperkuat agar institusi tersebut bisa lebih akuntabel dan transparan.
Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan kinerja kepolisian juga diunggulkan sebagai solusi jangka panjang. Seperti diungkapkannya, “Bagaimana institusi kepolisian ini imputable. Bukan cuma polisi, masyarakat umum bisa men-tracking apa saja yang sudah dikerjakan polisi, termasuk indikasi-indikasi korupsi.” Hal ini menunjukkan pentingnya transparansi bagi institusi kepolisian dalam membangun kepercayaan publik.
Kondisi ini mencerminkan keragaman pandangan dalam proses legislasi di DPR, di mana ada kebutuhan mendesak untuk adat legislatif baru, sekaligus adanya suara kritis dari masyarakat yang menunjukkan bahwa perubahan substantif tidak hanya bergantung pada regulasi, tetapi juga pada bobot implementasi dan pengawasan yang baik. Dengan gambaran ini, pengesahan RUU Polri dalam waktu dekat masih memiliki jalan panjang yang melibatkan berbagai stakeholder dan dialog publik.