Kinerja Ifan Seventeen sebagai Direktur Utama PT Produksi Film Negara (PFN) kembali menjadi sorotan setelah insiden telepon terlambat dalam acara inspeksi mendadak (sidak) oleh Rieke Diah Pitaloka dan jajaran Komisi VI DPR RI. Kejadian ini terjadi pada Jumat (14/3/2025), ketika mereka tiba di kantor PFN yang terletak di kawasan Jatinegara, Jakarta, pada pukul 09.00 WIB.
Proses sidak tersebut dipimpin langsung oleh Sufmi Dasco Ahmad, dan tujuannya adalah untuk meninjau kondisi gedung PFN yang dilaporkan sudah tidak terawat. Sayangnya, kedatangan Ifan Seventeen, yang juga dikenal sebagai Riefian Fajarsyah, ditunggu hingga hampir satu jam, di mana ia baru tiba sekitar pukul 09.40 WIB. Pemandangan tersebut memicu ragam komentar dari netizen di media sosial, terutama terkait dengan etika profesi seorang pemimpin perusahaan.
Dalam beberapa video yang beredar di media sosial, tampak Ifan datang terburu-buru dan langsung memasuki kantor PFN tanpa banyak bicara. Akun Instagram @lambegosiip bahkan menulis, “Ditunjuk sebagai Dirut PFN, Ifan Seventeen malah telat datang saat DPR sidak PFN,” yang memicu perbincangan lebih luas di kalangan warganet. Berbagai tanggapan pun berdatangan, banyak di antaranya mengkritik adab dan etika Ifan dalam menjalankan tugasnya sebagai pimpinan.
Tidak sedikit netizen yang mengungkapkan ketidakpuasan, seperti salah satu komentar yang menyebutkan, “Namanya juga menjabat lewat ordal, seenak jidatnya aja sih.” Sejalan dengan itu, komentar lainnya menilai kriterianya sebagai pemimpin yang gagal menunjukkan kepemimpinan yang baik. “Memalukan dan memilukan,” tulis salah satu netizen yang mengungkapkan kekecewaannya. Ini menunjukkan bahwa kehadiran dan disiplin seorang pemimpin sangat diperhatikan, terutama dalam situasi formal sekaligus penting.
Jika kita memperhatikan latar belakang dari pengangkatan Ifan Seventeen sebagai Dirut PFN, keputusan ini sebelumnya telah menimbulkan kontroversi. Banyak kalangan yang meragukan kapasitas dan kapabilitasnya di industri film. Kritikan ini disuarakan oleh sejumlah artis dan sineas, seperti Fedi Nuril, Joko Anwar, dan Luna Maya. Mereka mempertanyakan apakah latar belakang Ifan sebagai musisi dan mantan personel Seventeen cukup untuk menjalankan perusahaan film yang memegang posisi penting di industri kreatif nasional.
Menanggapi kritik ini, juru bicara BUMN, Putri Violla, memberikan penjelasan bahwa Ifan memiliki pengalaman yang tidak bisa diremehkan, termasuk pengalamannya sebagai produser film dan peran aktifnya di Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (Gekrafs). Namun, hal ini tampaknya tidak cukup meyakinkan bagi banyak orang yang menginginkan sosok yang lebih berpengalaman secara teknis dan manajerial dalam posisi strategis di PFN.
Dalam situasi seperti ini, budaya kerja dan etika di lingkungan perusahaan pemerintah sangat penting untuk dijunjung tinggi. Keterlambatan Ifan Seventeen dalam menghadiri sidak DPR menunjukkan kurangnya keseriusan dalam menjabat, apalagi di tengah tuntutan untuk melakukan pembenahan di PFN yang selama ini dinilai tidak maksimal.
Masyarakat kini menunggu langkah dan kebijakan selanjutnya dari Ifan Seventeen dalam memimpin PFN. Apakah langkahnya selanjutnya akan mampu membalikkan persepsi negatif yang berkembang, ataukah ia akan terus menjadi perbincangan publik? Dengan berbagai harapan dari kalangan kreatif, masa depan PFN di bawah kepemimpinannya akan sangat menarik untuk diikuti.