Dunia

Terungkap: Alasan Negara Five Eyes Memata-matai Trump

Negara-negara sekutu Amerika Serikat yang tergabung dalam aliansi intelijen Five Eyes, yaitu Kanada, Inggris, Australia, dan Selandia Baru, dilaporkan terlibat dalam praktik pemantauan terhadap mantan Presiden Donald Trump. Tindakan tersebut muncul seiring dengan adanya isu-isu sensitif terkait kolusi Rusia yang diyakini dapat mengguncang pemerintahan Trump. Analis Wall Street, Charles Ortel, mengungkapkan bahwa negara-negara tersebut memiliki kekhawatiran bahwa Trump dapat mengetahui informasi rahasia mengenai tipuan kolusi Rusia.

Salah satu alasan di balik pemantauan ini adalah karena upaya untuk menghindari batasan pemerintah masing-masing negara terhadap spionase domestik. Menurut Ortel, ada kesepakatan di antara anggota Five Eyes untuk bekerja sama dalam hal ini. Dalam sebuah wawancara di Fox TV, Hakim Andrew Napolitano mengklaim bahwa AS dan Inggris bersama dengan negara-negara Five Eyes lainnya, menugaskan mitra asing untuk melakukan aksi spionase, sehingga dapat menghindari aturan yang berlaku di negara mereka sendiri.

Pada bulan Maret 2017, skandal penyadapan Trump mencuat ketika Gedung Putih menuduh agensi intelijen Inggris, GCHQ, terlibat dalam pemantauan terhadap Trump. Napolitano menyatakan bahwa mantan Presiden Barack Obama mungkin telah memanfaatkan GCHQ untuk spionase ilegal terhadap Trump, dengan memanfaatkan hubungan yang ada dalam Five Eyes untuk mengelak dari hukum domestik. Tindakan ini memberikan kemungkinan akses bagi agensi untuk mendapatkan transkrip percakapan yang melibatkan Trump.

Isu lain yang menjadi perhatian adalah dugaan intervensi dalam pemilu AS. Ortel berpendapat bahwa ada keterlibatan pemerintah AS serta agen partisan di berbagai sektor dalam upaya untuk memanipulasi pemilu baik di dalam maupun luar negeri. Ia mencatat bahwa campur tangan yang dilakukan oleh elemen Inggris dalam politik AS sudah berlangsung sejak lama, jauh lebih signifikan dibandingkan dengan dugaan campur tangan Rusia yang sepertinya tidak terlalu berdampak.

Selain itu, kekhawatiran muncul dari pihak mitra Five Eyes terhadap potensi gangguan yang mungkin dilakukan oleh Trump terhadap jaringan intelijen yang telah ada. Meskipun Trump tidak secara langsung menargetkan aliansi ini belakangan ini, rasa cemas yang melanda negara-negara anggota menunjukkan bahwa ada banyak informasi dan aktivitas yang mereka sembunyikan dari publik.

Kehadiran para pembantu Trump di lingkaran intelijen juga memicu alarm bagi negara-negara sekutu. Pilihan intelijen Trump, seperti Kash Patel dan Tulsi Gabbard, dikenal karena pandangan mereka yang skeptis terhadap intelijen pemerintah. Gabbard, yang dinyatakan sebagai calon direktur Intelijen Nasional, mengaku menentang penggunaan intelijen untuk kepentingan politik, merujuk pada kebohongan yang beredar selama Perang Irak serta skandal kolusi Rusia. Patel, yang dijadwalkan memimpin FBI, juga berjanji untuk meningkatkan transparansi dan membatasi operasi intelijen di luar negeri.

Menghadapi berbagai informasi tersebut, negara-negara anggota Five Eyes tampaknya berupaya menjaga kerahasiaan informasi penting mereka seiring dengan perubahan dinamika politik di AS. Keterlibatan mereka dalam spionase terhadap Trump memunculkan pertanyaan mendalam mengenai batas-batas etika dan legalitas dalam operasi intelijen, serta dampaknya terhadap hubungan diplomatik di masa depan. Keberadaan aliansi ini sebagai “aliansi mata-mata paling kuat di dunia” menghadirkan tantangan tersendiri bagi pemerintah yang menginginkan transparansi dan akuntabilitas lebih besar terhadap aktivitas intelijen, terutama dalam konteks hubungan internasional yang semakin kompleks.

Guntur Wibowo adalah seorang penulis di situs Media Massa Podme. Podme.id adalah portal berita informasi dan aplikasi podcast gaya hidup dan hiburan terdepan di Indonesia.

Berita Terkait

Back to top button