Titik Nadir Para Kurir: Tantangan dan Harapan di Era Digital

Pemerintah diminta untuk memberikan perhatian serius terhadap nasib para kurir yang saat ini berada di titik nadir akibat persaingan usaha yang tidak sehat yang dilakukan oleh beberapa platform e-commerce. Dalam penyampaian ini, para ahli dan pengamat menekankan betapa pentingnya untuk merumuskan kebijakan yang dapat melindungi industri kurir dan logistik nasional.

Masa awal pandemi Covid-19 dari tahun 2020 hingga 2022 merupakan periode yang sangat sulit bagi masyarakat. Ketika aktivitas ekonomi hampir terhenti karena pembatasan mobilitas, sektor kesehatan, logistik, dan kurir justru dihadapkan pada tantangan besar. Ratusan ribu pekerja kurir melanjutkan tugas mereka dengan risiko tinggi terpapar virus, bertujuan untuk memastikan distribusi makanan, obat-obatan, dan bahan pokok sampai di tangan masyarakat.

Melihat kondisi ini, kementerian terkait, termasuk Kementerian Komunikasi dan Digital, diharapkan untuk berkolaborasi dengan Kementerian Perhubungan dan Kementerian Perdagangan dalam merumuskan aturan yang mengatur platform e-commerce yang beroperasi di sektor pos, kurir, dan logistik.

Sebagai contoh, Yayat Supriatna, pengamat transportasi dan tata kota dari Universitas Trisakti, menyoroti bahwa kondisi menemui titik nadir ini sebagian besar diakibatkan oleh praktik oligopsoni di industri pos dan kurir nasional. Kekuatan dominan yang dimiliki oleh platform e-commerce asing seperti TikTok yang berkolaborasi dengan Tokopedia dan Lazada yang merupakan anak usaha Alibaba, menyebabkan perusahaan lokal seperti Blibli mengalami penurunan daya saing.

Satu isu utama yang dihadapi para kurir adalah pengaruh negatif dari persaingan harga yang tidak sehat. Seringkali perusahaan pos dan kurir melakukan “predatory pricing” untuk menarik pelanggan, yang justru membuat para kurir terjebak dalam kondisi fluktuatif dalam pendapatan. Ini terjadi akibat pengaruh dari platform e-commerce yang menerapkan algoritma dan intervensi pasar yang tidak adil, yang telah menjadi perhatian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

KPPU juga mencatat bahwa beberapa platform besar di industri ini terlibat dalam praktik monopoli, yang semakin memperparah keadaan. Dalam situasi di mana sebagian besar pendapatan kurir bergantung pada volume pengiriman, banyak dari mereka mengalami kesulitan untuk mendapatkan penghasilan yang stabil.

“Saat ini, banyak kurir tidak memiliki pilihan lain dan hanya bisa menerima kondisi ini. Jika mereka tidak mampu bersaing, hal ini berpotensi mengancam pekerjaan mereka,” tambah Yayat. Penurunan pendapatan yang dialami oleh para kurir membuat mereka harus mencari alternatif lain untuk bertahan hidup, termasuk mencari pelatihan baru untuk menambah keterampilan.

Demi mengatasi isu ini, kolaborasi antara pemerintah dan pemangku kepentingan menjadi sangat penting. Menurut beberapa ahli, seharusnya ada langkah nyata untuk memperbaiki ekosistem kerja di sektor ini agar para kurir dapat beroperasi dalam lingkungan yang lebih sehat dan berkelanjutan. Dukungan dari pemerintah daerah juga dinilai perlu untuk menciptakan solusi jangka panjang.

Ada beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan, termasuk:

1. Pemberian regulasi yang ketat terhadap tarif maksimum untuk pengiriman.
2. Penyediaan bantuan bagi kurir dalam bentuk pelatihan atau subsidi untuk mencegah mereka terjebak dalam siklus kemiskinan akibat fluktuasi pendapatan.
3. Mendorong platform e-commerce untuk berkontribusi dalam menciptakan program kesejahteraan bagi para kurir.

Keberhasilan langkah-langkah tersebut tidak hanya bergantung pada inisiatif dari pemerintah, tetapi juga komitmen semua pihak, mulai dari platform e-commerce hingga para pelaku industri. Para kurir, yang kini menjadi bagian vital dari rantai pasokan, seharusnya mendapat perlindungan yang lebih baik guna memastikan keberlanjutan pekerjaan mereka di masa depan.

Berita Terkait

Back to top button