Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengumumkan penghentian pemrosesan aplikasi paspor yang mencantumkan pilihan jenis kelamin nonbiner (X). Keputusan ini diambil setelah Presiden Donald Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang menyatakan bahwa negara hanya mengakui dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Hal ini memicu kontroversi di kalangan para pegiat hak asasi manusia, yang berargumen bahwa kebijakan tersebut mengabaikan identitas gender yang beragam.
Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, menyatakan bahwa kebijakan baru ini menegaskan bahwa jenis kelamin seseorang dianggap tidak dapat diubah. "Kebijakan Amerika Serikat adalah bahwa jenis kelamin seseorang tidak dapat diubah," ujar Rubio dalam sebuah pernyataan resmi. Dalam mandat yang berjudul "Membela Perempuan dari Ekstremisme Ideologi Gender dan Mengembalikan Kebenaran Biologis kepada Pemerintah Federal," semua dokumen resmi pemerintah, termasuk paspor, visa, dan KTP, diharuskan untuk mencantumkan jenis kelamin yang sesuai dengan kodrat seseorang.
Perintah eksekutif tersebut mengharuskan departemen pemerintah untuk menghentikan pemrosesan aplikasi bagi individu yang telah memilih jenis kelamin nonbiner di paspor mereka. Pada tanggal 23 Januari 2025, staf Departemen Luar Negeri diinstruksikan untuk menangguhkan aplikasi yang mencantumkan penanda jenis kelamin (X) serta aplikasi yang ingin mengubah penanda jenis kelamin mereka. Namun, pihak Gedung Putih memastikan bahwa perintah tersebut tidak berlaku surut, sehingga paspor yang sudah ada tetap valid. Akan tetapi, setiap pembaruan paspor harus sesuai dengan jenis kelamin yang tertera pada akta kelahiran individu tersebut.
Kebijakan ini berlawanan dengan langkah yang diambil oleh pemerintah sebelumnya. Departemen Luar Negeri AS pertama kali memungkinkan penanda jenis kelamin nonbiner pada April 2022, yang memberi ruang bagi individu nonbiner untuk diakui secara hukum. Namun, perubahan ini kini menjadi salah satu isu utama dalam diskusi seputar identitas gender di tingkat nasional.
Pihak pendukung kebijakan ini berargumen bahwa penegakan dua jenis kelamin berdasarkan biologis adalah cara untuk menjaga "kebenaran" dan melindungi norma-norma tradisional dalam masyarakat. Namun, banyak pihak yang mengecam keputusan ini sebagai langkah mundur bagi hak asasi manusia dan pengakuan terhadap identitas gender yang lebih luas.
Kritik terhadap keputusan ini semakin keras, terutama dari organisasi-organisasi advokasi yang memberikan suara bagi masyarakat LGBTQ+. Mereka menekankan bahwa kebijakan semacam ini akan membatasi hak individu untuk mengekspresikan identitas mereka dan dapat berpotensi menciptakan stigma serta diskriminasi terhadap mereka yang tidak memasukkan diri dalam kategori simplistis laki-laki atau perempuan.
Dalam konteks ini, ada beberapa hal yang perlu dicatat:
- Himpitan pada Hak Asasi Manusia: Kebijakan ini dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia bagi individu nonbiner dan gender nonkonformis.
- Masyarakat yang Terbelah: Kebijakan ini menciptakan perdebatan panas di masyarakat terkait pengakuan dan pemahaman terhadap identitas gender.
- Reaksi Publik: Banyak protes dan kritik muncul dari berbagai kalangan yang mempertanyakan efektivitas dan keadilan dari kebijakan tersebut.
- Respon dari Aktivis: Para aktivis menyerukan perlunya advokasi lebih lanjut dan perlindungan hukum bagi individu nonbiner.
Keputusan ini menjadi bukti bahwa isu gender adalah salah satu fokus utama dalam kebijakan publik yang berpotensi mengubah kehidupan banyak orang. Sementara itu, reaksi dari masyarakat dan kemungkinan upaya hukum untuk melawan keputusan ini masih akan terus berkembang. Di tengah segala kontroversi, pokok permasalahan ini menyoroti realitas bahwa setiap individu berhak atas identitas mereka sendiri, dan penegakan kebijakan pemerintah yang adil sangat diperlukan.