Kesehatan

Trump Pangkas Dana: Ancaman Bagi Penanganan HIV di Indonesia?

Khawatir akan dampak dari kebijakan pemangkasan dana yang dilakukan oleh Presiden Donald Trump, organisasi kesehatan dan masyarakat sipil di Indonesia mulai mempertanyakan nasib penanganan HIV di tanah air. Melalui kebijakan yang dikeluarkan, Trump menghentikan bantuan luar negeri, yang mengakibatkan banyak program vital menghadapi ancaman keberlangsungan. Salah satu yang terdampak adalah program penyediaan obat antiretroviral (ARV) yang sangat dibutuhkan oleh pasien HIV.

USAID, sebagai lembaga bantuan asing terbesar, telah menginstruksikan mitra dan penerima hibahnya untuk menghentikan kegiatan terkait mulai dari pertengahan Januari lalu. Menurut Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC), Aditya Wardhana, meski Indonesia tidak bergantung pada bantuan AS untuk stok ARV, banyak komponen dalam program penanggulangan HIV di Indonesia masih dibiayai oleh donor asing, termasuk AS.

Berdasarkan laporan tahunan dari Kementerian Kesehatan, Global Fund muncul sebagai penyumbang utama untuk penanganan HIV di Indonesia, dengan kontribusi mencapai 40,8 persen di tahun 2020. AS sendiri berperan sebagai donor terbesar bagi Global Fund, memberikan kontribusi sekitar sepertiga dari total pendanaan. Namun, ketika USAID menghentikan kegiatan pendanaan, banyak organisasi nonpemerintah yang berfokus pada program penanggulangan HIV harus menghentikan aktivitas mereka.

Dampak dari kebijakan ini menyentuh bagian yang lebih luas, terkait dengan penanganan isu gender. Aditya menyoroti pernyataan Trump yang menyatakan hanya mengakui dua gender dalam kebijakan-kebijakan AS. Hal ini berpotensi mempersulit upaya penanggulangan HIV yang berkolaborasi erat dengan komunitas transgender, yang memiliki prevalensi HIV tinggi di Indonesia.

Saat ini, sekitar 503.261 orang diketahui hidup dengan HIV di Indonesia, tetapi hanya 351.378 orang yang mengetahui status mereka. Dari jumlah tersebut, hanya 217.482 yang telah mendapatkan perawatan, menunjukkan lebih dari separuh dari mereka belum memperoleh akses terhadap terapi yang diperlukan. Hal ini menciptakan tantangan besar dalam penanganan HIV di masyarakat.

Secara rinci, sumber dana untuk program HIV di Indonesia berasal dari beberapa entitas. Berikut adalah rinciannya:
1. Global Fund: 40,8% dari total pendanaan program HIV.
2. PEPFAR-USAID: 4,8% dari total pendanaan program.
3. APBN: 37,2% menanggung pengeluaran program HIV.
4. Dana BPJS: 11,2% dari total pengeluaran.
5. Dana daerah: menyumbang sisanya.

Dengan proyeksi anggaran kesehatan dalam APBN 2024 yang mencapai Rp186,4 triliun, penting bagi pemerintah untuk mendistribusikan anggaran dengan tepat. Namun, saat ini anggaran program HIV hanya sekitar Rp400 miliar, jauh dari kebutuhan ideal yang diperkirakan mencapai Rp4,8 triliun per tahun.

Ketua Yayasan Spiritia, Daniel Marguari, menegaskan bahwa meski obat HIV ditanggung oleh pemerintah, banyak organisasi yang berperan penting dalam mendukung penanggulangan HIV harus menghentikan aktivasnya akibat pemangkasan dana. Aditya juga menegaskan pentingnya keberlanjutan pendanaan bagi program ini, dan mengingatkan bahwa ketergantungan pada bantuan luar negeri berisiko tinggi bagi keberlangsungan program penanggulangan HIV di Indonesia.

Pasca pemberhentian dana dari AS, tantangan bagi penanganan HIV di Indonesia semakin meningkat. Selain mempengaruhi akses terhadap obat-obatan, juga berpotensi memperburuk kondisi masyarakat yang membutuhkan dukungan. Kesehatan publik dan hak asasi manusia harus tetap menjadi prioritas, terutama bagi kelompok yang terpinggirkan, agar semua anggota masyarakat dapat mendapatkan akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan.

Dina Anggraini adalah seorang penulis di situs Media Massa Podme. Podme.id adalah portal berita informasi dan aplikasi podcast gaya hidup dan hiburan terdepan di Indonesia.

Berita Terkait

Back to top button