Trump Sebut Lesotho Negara Tak Kenal di Pidato Kongres Podme News

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menuai kontroversi setelah mengkritik negara Lesotho saat berpidato di Kongres pada 4 Maret 2025. Dalam pidatonya yang berlangsung selama 100 menit, Trump menyebut Lesotho sebagai negara yang “belum pernah didengar oleh siapa pun” saat mengkritik beberapa kontrak bantuan luar negeri AS yang dianggapnya sebagai pemborosan dana publik. Komentar ini langsung memicu tawa di kalangan beberapa hadirin, tetapi juga mengundang reaksi keras dari pemerintah Lesotho dan berbagai pihak lainnya.

Dalam pernyataannya, Trump mengacu pada alokasi sebesar delapan juta dolar untuk promosi komunitas LGBTQI+ di Lesotho. “Delapan juta dolar untuk mempromosikan LGBTQI+ di negara Afrika Lesotho, yang belum pernah didengar oleh siapa pun,” katanya. Penilaian Trump ini dianggap meremehkan oleh pemerintahan Lesotho, yang merasa terhina oleh saran bahwa negara mereka kurang dikenal.

Menteri Lesotho, Lejone Mpotjoane, mengekspresikan keheranan dan kekecewaannya. “Sangat mengejutkan dan mengecewakan bahwa dia mengklaim tidak seorang pun mengenal Lesotho, terutama mengingat AS memiliki kedutaan besar di sini,” ujar Mpotjoane, menganggap pernyataan Trump sebagai suatu generalisasi yang tidak adil. Ia juga menegaskan bahwa Lesotho mungkin suatu hari nanti akan diperlukan oleh AS, merujuk pada hubungan diplomatik yang ada.

Kritik yang dilancarkan Trump sejalan dengan kebijakan pemerintahannya yang memangkas anggaran bantuan luar negeri, sebuah langkah yang telah menimbulkan dampak signifikan, terutama bagi negara-negara di Afrika. Departemen Efisiensi Pemerintah yang dipimpin oleh Elon Musk telah menghapus banyak program, termasuk membubarkan Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID), yang selama hampir dua dekade telah memberikan bantuan penting bagi Lesotho. Pada tahun lalu, USAID memberikan bantuan lebih dari 44 juta dolar, membantu sekitar 200.000 orang yang hidup dengan HIV di Lesotho. Pemotongan anggaran ini menyebabkan salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan masyarakat di negara tersebut, dengan setidaknya 1.500 pekerja kesehatan terpaksa diberhentikan, mengurangi 7% dari total staf kesehatan yang ada.

Dalam hubungan dengan isu promosi LGBTQI+, Menteri Luar Negeri Lesotho menjelaskan bahwa ia tidak mengetahui adanya kontrak delapan juta dolar yang disebutkan Trump. Pendanaan tersebut, ia tunjukkan, seringkali disalurkan melalui beberapa organisasi nonpemerintah, yang menjadikan informasi ini mungkin tidak diketahui secara langsung oleh pemerintah.

Reaksi negatif terhadap pidato Trump tidak hanya datang dari Lesotho saja. Pengamat internasional dan masyarakat sipil di berbagai belahan dunia menganggap ucapan tersebut mencerminkan sikap merendahkan dan tidak sensitif terhadap negara-negara berkembang yang sedang berjuang dengan tantangan besar. Pegiat hak asasi manusia menilai bahwa bantuan luar negeri tersebut vital bagi kelangsungan hidup banyak individu, dan alokasi dana untuk peningkatan kesejahteraan sosial seharusnya dihargai, alih-alih menjadi bahan olok-olok.

Kejadian ini menunjukkan betapa pentingnya komunikasi yang sensitif dan mempertimbangkan latar belakang budaya serta situasi sosial negara-negara lain dalam pidato resmi oleh seorang pemimpin dunia. Sementara itu, situasi di Lesotho terancam semakin genting dengan pemangkasan dana yang dibutuhkan untuk perawatan kesehatan dan program pemberdayaan masyarakat yang selama ini telah membantu masyarakat setempat. Di sisi lain, kritik terhadap kebijakan luar negeri AS di bawah kepemimpinan Trump menunjukkan bagaimana pentingnya pendekatan yang lebih inklusif dan mempertimbangkan dampak dari kebijakan tersebut bagi negara-negara penerima bantuan.

Berita Terkait

Back to top button