Trump Surati Iran Beri Ultimatum 2 Bulan untuk Kesepakatan Nuklir

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, baru-baru ini mengirimkan surat kepada Pemimpin Tertinggi Iran, Ali Khamenei, yang memberikan ultimatum berdurasi dua bulan untuk mencapai kesepakatan nuklir baru. Informasi ini dilaporkan oleh Axios, yang mengutip beberapa pejabat AS dan sumber yang mengetahui isi surat tersebut. Meski umur dari ultimatum ini belum sepenuhnya jelas—apakah dimulai dari tanggal pengiriman surat atau saat negosiasi dimulai—teknik diplomasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan ini menjadi perhatian banyak pihak.

Surat tersebut disampaikan kepada Khamenei melalui saluran diplomatik yang melibatkan Utusan Trump untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, dengan bantuan Presiden Uni Emirat Arab (UEA), Mohammed Bin Zayed. Witkoff menyerahkan surat itu kepada Zayed dalam sebuah pertemuan di Abu Dhabi, setelah itu Zayed mengirimkan utusannya, Anwar Gargash, ke Teheran untuk menyerahkannya kepada Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi.

Khamenei merespons surat tersebut dengan mengkritik apa yang ia sebut sebagai “taktik intimidasi”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa Iran merasa tertekan oleh ultimatum yang diberikan oleh pemerintahan Trump. Di sisi lain, Kementerian Luar Negeri Iran menyatakan bahwa surat itu masih dalam tahap evaluasi dan sedang disusun tanggapan resmi. Di hadapan ancaman tersebut, Trump menegaskan komitmennya untuk mencegah Iran memperoleh senjata nuklir, menyatakan, “Kita tidak bisa membiarkan mereka memiliki senjata nuklir. Sesuatu akan segera terjadi. Saya lebih suka kesepakatan damai daripada opsi lainnya, tetapi opsi lainnya akan menyelesaikan masalah.”

Konteks ultimatum ini berkaitan erat dengan keputusan Trump pada tahun 2018 untuk menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran yang ditandatangani pada tahun 2015. Setelah menarik diri, Trump memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Iran, yang menyebabkan ketegangan semakin meningkat di kawasan tersebut. Meskipun Iran awalnya mencoba untuk mematuhi perjanjian tersebut, mereka secara bertahap mengurangi komitmennya, mengutip bahwa kepentingan mereka tidak dilindungi oleh negara-negara yang tersisa dalam kesepakatan.

Dalam konteks yang lebih luas, pemerintahan Trump tampak melanjutkan strategi “tekanan maksimum”, dengan fokus pada sanksi ketat yang bertujuan untuk mengekang program rudal balistik dan nuklir Iran. Dalam ultimatum ini, Trump juga menuntut Iran untuk menghentikan dukungan mereka terhadap kelompok Houthi yang terlibat dalam konflik di Yaman, serta bersumpah untuk “menghancurkan” kelompok tersebut.

Situasi ini menandai fase baru dalam hubungan AS-Iran yang sudah lama tegang. Banyak pengamat internasional mengamati perkembangan ini dengan cermat, mempertanyakan apakah Iran akan memberikan respons yang lebih konstruktif atau justru semakin memperburuk situasi. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa jika Iran menolak ultimatum ini, ketegangan di Timur Tengah dapat meningkat lebih jauh, menambah kompleksitas bagi negara-negara yang berusaha menjaga stabilitas di kawasan ini.

Mengingat sejarah panjang ketegangan yang melibatkan Iran dan AS, serta dinamika geopolitik yang sedang berlangsung, tanggapan Iran terhadap ultimatum Trump dapat menjadi faktor kunci dalam menentukan arah kebijakan nuklir dan strategis di masa depan. Dengan dua bulan sebagai batas waktu, banyak pihak berharap akan ada solusi diplomatik yang damai, meskipun harapan itu disertai dengan tantangan yang cukup besar.

Berita Terkait

Back to top button