Dunia

Trump Tarik AS dari Perjanjian Iklim, China Tetap Lanjutkan Transisi Hijau

Beijing, Podme.id – Pada hari pertama pelantikannya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menandatangani perintah eksekutif yang mengesahkan penarikan resmi negara itu dari Perjanjian Paris, sebuah kesepakatan internasional tentang perubahan iklim yang ditandatangani oleh 195 negara pada tahun 2015. Langkah ini memicu berbagai reaksi dari negara-negara di seluruh dunia, termasuk China, yang menegaskan bahwa keputusan AS tidak akan mempengaruhi komitmennya terhadap perubahan iklim.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, mengungkapkan bahwa China akan terus mengambil langkah-langkah proaktif untuk merespons tantangan perubahan iklim, tanpa terpengaruh oleh perkembangan internasional, termasuk keputusan AS. "Tidak peduli bagaimana lanskap internasional mungkin berkembang, tekad dan tindakan China untuk respons iklim proaktif tidak akan berubah," tegasnya.

Mao juga menyampaikan keprihatinan mengenai penarikan diri AS dari Perjanjian Paris. Ia menegaskan, "Perubahan iklim adalah tantangan bersama yang dihadapi seluruh umat manusia. Tidak ada negara yang dapat memilih keluar atau tidak terpengaruh."

Secara konkret, China telah menetapkan sejumlah target ambisius dalam usaha menghentikan peningkatan emisi karbon dioksida. Negara ini berkomitmen untuk mencapai puncak emisi sebelum tahun 2030, dan berencana untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2060. Berikut ini adalah beberapa langkah yang diambil China dalam transisi energi hijau:

  1. Pengurangan Emisi: China menargetkan pengurangan emisi karbon sebesar 60-65 persen dibandingkan dengan level tahun 2005 hingga tahun 2030.
  2. Pengurangan Batu Bara: Mulai tahun 2026, China berkomitmen untuk mengurangi pemakaian batu bara dan akan berupaya meningkatkan kapasitas listrik bersih dari tenaga terbarukan.
  3. Investasi Energi Terbarukan: Dalam sepuluh tahun terakhir, investasi kumulatif di sektor infrastruktur energi telah mencapai sekitar 39 triliun yuan, rata-rata hampir 4 triliun yuan per tahun.
  4. Kapasitas Energi Terbarukan: Hingga Juli 2024, kapasitas terpasang pembangkit listrik non-fosil sudah mencapai lebih dari 1,68 miliar KW, terdiri dari pembangkit listrik tenaga angin, pembangkit listrik tenaga surya, dan lainnya.
  5. Rantai Industri Energi Baru: China mengklaim bahwa 70 persen komponen fotovoltaik dan 60 persen peralatan tenaga angin di seluruh dunia diproduksi di negaranya.

Di samping itu, Mao menekankan pentingnya membangun sistem tata kelola iklim global yang adil dan setara, serta meningkatkan kerja sama yang saling menguntungkan untuk mendukung transisi hijau dan pembangunan berkelanjutan. Dalam rencananya, kapasitas listrik bersih dari tenaga surya dan angin akan meningkat menjadi 1,2 miliar kilowatt pada tahun 2030.

China juga menunjukkan hasil nyata dari upaya tersebut, dengan pembangkit listrik energi terbarukan di negara itu telah mampu menghasilkan listrik mencapai 2,2 triliun kw/jam, setara dengan pengurangan emisi karbon dioksida sekitar 2 miliar ton. Ini menunjukkan betapa signifikan kontribusi China terhadap pembangunan energi terbarukan global, di mana pembangkit listrik energi baru yang terpasang di negara itu menyumbang sekitar 40 persen dari total kapasitas terpasang di dunia.

Sikap teguh China dalam transisi energi hijau dan penanganan perubahan iklim menggambarkan tekadnya untuk berperan sebagai pemimpin dalam agenda lingkungan global, terlepas dari langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah AS. Dalam konteks ini, langkah Trump menarik mundur dari perjanjian iklim akan menjadi tantangan tersendiri, tetapi juga mungkin membuka peluang bagi China untuk memperkuat posisinya dalam arena diplomasi iklim internasional.

Guntur Wibowo adalah seorang penulis di situs Media Massa Podme. Podme.id adalah portal berita informasi dan aplikasi podcast gaya hidup dan hiburan terdepan di Indonesia.

Berita Terkait

Back to top button