
Bandung – Universitas Padjadjaran (Unpad) mengambil langkah tegas untuk mengevaluasi sistem pendidikan dokter setelah munculnya kasus pemerkosaan yang melibatkan seorang calon dokter spesialis anestesi program Pendidikan Program Dokter Spesialis (PPDS) di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Rektor Unpad, Prof. Arief Sjamsulaksan Kartasasmita, mengungkapkan pentingnya langkah evaluasi ini dalam rangka memastikan kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.
Dalam keterangannya pada Sabtu (12/4/2025), Arief menekankan bahwa evaluasi menyeluruh diperlukan untuk menutup celah pelanggaran hukum dan etika di lingkungan pendidikan kedokteran. “Semua proses akan kita evaluasi. Jangan sampai program dihentikan di RSHS tanpa evaluasi mendalam,” ujarnya. Ia juga menegaskan bahwa hasil evaluasi ini akan mencakup tempat-tempat lain di mana program pendidikan kedokteran diadakan.
Kasus ini menjadi sorotan utama dan mendorong pemangku kebijakan untuk bertindak. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan bahwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah mengambil langkah dengan membekukan program PPDS Anestesi di Unpad dan RSHS selama satu bulan, guna melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pendidikan dan praktik di bidang tersebut. “Kita freeze dahulu anestesi di Unpad dan RSHS selama sebulan, supaya kita tahu apa yang perlu diperbaiki,” ungkap Menteri Budi.
Sebagai tambahan, Menteri Budi menegaskan bahwa surat tanda registrasi (STR) dan surat izin praktik (SIP) dari pelaku juga akan dicabut. Langkah ini diambil untuk memberikan efek jera bagi tenaga kesehatan yang melanggar hukum, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap profesionalisme di bidang kesehatan.
Evaluasi sistem pendidikan yang dilakukan Unpad tidak hanya sebatas menghentikan program pendidikan terkait, tetapi juga bertujuan untuk merevisi kurikulum Fakultas Kedokteran. Rektor Arief menyatakan bahwa ini adalah momen untuk memastikan sistem pendidikan mampu mencegah adanya perundungan, kekerasan seksual, maupun tindakan tidak pantas lainnya. “Ini momen untuk memastikan sistem pendidikan kita mampu mencegah bullying, kekerasan seksual, maupun tindakan tidak pantas lainnya,” tambahnya.
Kasus pemerkosaan yang terjadi baru-baru ini juga menyeret perhatian publik terhadap perlunya regulasi yang lebih ketat dalam pendidikan kedokteran, terutama dalam menjaga keamanan dan kesejahteraan mahasiswa. Evaluasi yang sedang dilakukan di Unpad diharapkan dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, profesional, dan berintegritas.
Peran aktif pihak kampus, sebagai penyelenggara pendidikan, sangat krusial dalam menjamin bahwa mahasiswa tidak hanya dibekali ilmu medis yang memadai tetapi juga pemahaman etika yang kuat. Rektor Arief menekankan komitmennya untuk berkolaborasi dengan pihak-pihak terkait dalam mengevaluasi dan memperbaiki kurikulum serta sistem pendidikan secara keseluruhan.
Di sisi lain, dukungan kepada korban kasus ini juga menjadi perhatian utama. Atalia Praratya, seorang aktivis yang siap mengawal korban pemerkosaan melakukan langkah hukum, menunjukkan kepedulian terhadap dampak psikologis yang dialami korban dalam peristiwa tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kasus ini tidak hanya mempengaruhi institusi pendidikan, tetapi juga menciptakan gelombang reaksi di masyarakat tentang isu kekerasan seksual dan perlunya penanganan yang serius.
Dengan semua langkah ini, diharapkan dunia pendidikan kedokteran di Indonesia tidak hanya mampu menghasilkan tenaga medis yang kompeten secara profesional tetapi juga mampu menjaga nilai-nilai moral dan etika dalam praktik kedokteran. Kejadian di RSHS ini menjadi pengingat penting bahwa keamanan dan kesejahteraan akademis harus menjadi prioritas utama dalam setiap institusi pendidikan tinggi.