Video Whistleblower: Meta Diduga Bocorkan Data Pengguna ke China

Mantan direktur kebijakan publik global Facebook, Sarah Wynn-Williams, mengejutkan publik dengan pengakuannya di hadapan senator Amerika Serikat. Dalam kesaksiannya, Wynn-Williams mengklaim bahwa Meta, perusahaan induk Facebook dan Instagram, memiliki kerja sama yang signifikan dengan China. Dia menyebutkan bahwa perusahaan tersebut memberikan akses data pengguna kepada Partai Komunis China, suatu langkah yang memicu kekhawatiran mengenai privasi dan keamanan data pengguna di seluruh dunia.

Dalam sesi pengakuan tersebut, Wynn-Williams mengungkapkan bahwa Meta tidak hanya menjalin kerjasama dengan pemerintah China, tetapi juga memungkinkan akses data pribadi pengguna kepada pihak yang terlibat dalam politik negara tersebut. Data yang dimaksud mencakup berbagai informasi sensitif yang dapat digunakan untuk kepentingan pengawasan dan kontrol sosial. “Kami berada dalam situasi di mana data individu dapat digunakan untuk mengawasi dan memanipulasi mereka,” jelasnya.

Tuduhan ini muncul di tengah meningkatnya perhatian global terhadap kebijakan pengumpulan data perusahaan teknologi besar, terutama yang berkaitan dengan negara-negara dengan reputasi isu hak asasi manusia yang buruk, seperti China. Sebelumnya, Meta telah menghadapi serangkaian kritik terkait cara mereka mengelola data pengguna, khususnya setelah skandal Cambridge Analytica yang mengungkapkan bahwa data pengguna dapat disalahgunakan untuk kepentingan politik.

Beberapa senator AS juga menyoroti masalah ini dalam diskusi mereka. Senator Chuck Grassley mendesak perusahaan teknologi untuk transparan mengenai praktik data mereka dan meminta penjelasan dari Meta tentang apakah mereka memang memberikan akses kepada pihak ketiga di luar hukum yang berlaku. “Kita tidak dapat membiarkan privasi pengguna kita dilanggar, terutama oleh pemerintah yang tidak menghargai hak asasi manusia,” kata Grassley.

Sebagai respons terhadap tuduhan tersebut, Meta mengeluarkan pernyataan yang menegaskan bahwa mereka mengikuti semua peraturan dan undang-undang yang berlaku terkait privasi data. Perusahaan menyebutkan bahwa mereka hanya berbagi informasi yang diizinkan oleh pengguna dan tidak akan pernah memberikan akses data kepada pemerintah atau organisasi yang melanggar hak privasi individu.

Kekhawatiran tentang akses data pengguna oleh pemerintah asing bukanlah hal baru. Sebelumnya, banyak perusahaan teknologi telah diingatkan tentang risiko yang datang dari melakukan bisnis di negara dengan kebijakan pemerintah yang ketat. Namun, klaim Wynn-Williams menimbulkan pertanyaan baru mengenai batasan etis dan tanggung jawab sosial perusahaan teknologi besar.

Pakar privasi data juga memberikan pandangan mereka mengenai isu ini. Menurut Dr. Rina Harahap, seorang ahli hukum dan privasi, tindakan Meta jika terbukti benar bisa mengakibatkan sanksi hukum yang signifikan. “Hal ini tidak hanya melanggar kepatuhan terhadap regulasi privasi di AS, tetapi juga dapat berbanding terbalik dengan prinsip transparansi yang dijunjung tinggi oleh perusahaan-perusahaan teknologi,” jelasnya.

Banyak pihak meminta agar pemerintah AS melakukan investigasi lebih lanjut terkait pengkuan ini. Dengan semakin kompleksnya lanskap privasi data di era digital, penting bagi regulasi yang kuat untuk melindungi pengguna. Beberapa aktivis menuntut agar perusahaan-perusahaan besar bertanggung jawab penuh atas data yang mereka kumpulkan dan bagaimana data tersebut digunakan, terutama dalam konteks kerjasama internasional.

Dalam situasi ini, masyarakat diminta untuk lebih berhati-hati dengan informasi pribadi yang dibagikan di platform-platform digital. Oleh karena itu, pemahaman yang lebih dalam mengenai cara kerja perusahaan teknologi dan kebijakan privasi mereka menjadi sangat penting guna melindungi hak-hak individu di dunia maya. Penyebaran informasi dan edukasi kepada publik tentang risiko privasi harus ditingkatkan untuk memitigasi potensi penyalahgunaan data di masa depan.

Berita Terkait

Back to top button