Viral! Kades Ciamis Mundur Kerja di Jepang, Berapa Gajinya?

Seorang kepala desa dari Desa Sukamulya, Ciamis, Jawa Barat, bernama Doni Romdani, tiba-tiba menjadi perbincangan hangat di media sosial setelah mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan yang diembannya. Alasan di balik keputusan ini cukup menarik, sebab Doni memilih untuk kembali bekerja di Jepang sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) setelah enam tahun menjabat sebagai kepala desa. Hal ini dikonfirmasi oleh Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Pemkab Ciamis, Deden Nurhadana.

Deden menjelaskan, “Iya benar bahwa pada tahun 2024 kami sedang memproses pengunduran diri dari Kepala Desa Sukamulya, Kecamatan Purwadadi. Alasannya karena yang bersangkutan akan kembali bekerja di Jepang.” Menariknya, Doni sebelumnya juga pernah merasakan pengalaman kerja di Jepang sebelum kembali ke Indonesia untuk mengikuti pemilihan kepala desa.

Keputusan Doni untuk meninggalkan jabatannya ini menjadi viral, apalagi di tengah maraknya gerakan di kalangan anak muda Indonesia, yang disimbolkan dengan tagar #KaburAjaDulu, demi peluang karier yang lebih baik di luar negeri. Banyak warganet yang mendukung langkah Doni, menunjukkan bahwa fenomena keinginan untuk bekerja di luar negeri semakin meningkat di kalangan generasi muda.

Dalam konteks ini, muncul pertanyaan di kalangan masyarakat mengenai gaji yang diterima oleh seorang kepala desa di Indonesia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2019, gaji pokok kepala desa diatur dalam berbagai pasal, termasuk pasal 81 ayat 2(a) yang menetapkan bahwa gaji paling minimal yang diterima seorang kepala desa adalah sebesar Rp2.426.640. Jumlah ini setara dengan 120% dari gaji pokok Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan II/A.

Selain gaji pokok, kepala desa juga berhak atas tunjangan jabatan yang maksimalnya mencapai 30% dari total anggaran belanja desa. Tunjangan ini ditentukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan setiap tahunnya untuk pengalokasian dana desa. Pada tahun 2023, setiap desa di Indonesia memiliki hak untuk menerima anggaran sebesar Rp100 juta hingga Rp1 miliar per tahun.

Dengan demikian, jika kita hitung, asumsi bahwa 30% dari anggaran desa minimum Rp100 juta diperuntukkan sebagai tunjangan bagi perangkat desa, maka kepala desa bisa mendapatkan tunjangan hingga Rp30 juta per tahun. Namun, semua ini tergantung pada kebijakan masing-masing desa dalam hal pembagian tunjangan.

Keputusan Doni tersebut tidak hanya menyoroti besaran gaji kepala desa, tetapi juga mengangkat isu yang lebih besar mengenai prospek karier di dalam dan luar negeri. Banyak orang mulai mempertanyakan apakah penghasilan seorang kepala desa cukup kompetitif dibandingkan dengan peluang pekerjaan di luar negeri, yang sering kali menjanjikan imbalan yang lebih tinggi.

Data menunjukkan bahwa banyak kepala desa di Indonesia menghadapi tantangan dalam menjalankan tugas mereka, termasuk keterbatasan infrastruktur dan dukungan anggaran. Dalam kondisi seperti ini, tidak jarang mereka mempertimbangkan untuk mencari alternatif pekerjaan yang lebih menjanjikan di luar negeri.

Kisah Doni Romdani tentunya memicu diskusi lebih dalam tentang pilihan karier di kalangan para pemuda di Indonesia, memberikan pandangan baru mengenai nilai dan keuntungan dari menjadi kepala desa dibandingkan dengan bekerja di luar negeri. Fenomena ini memberikan gambaran jelas tentang bagaimana gaji dan tunjangan dapat memengaruhi keputusan seseorang untuk bertahan atau mencari peluang lain di luar negeri. Seakan menjadi pelajaran bagi kepala desa lainnya dan masyarakat umum, bahwa setiap pilihan karier harus dipertimbangkan dengan matang, melihat aspek finansial dan kepuasan kerja dalam jangka panjang.

Berita Terkait

Back to top button