
PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, mengumumkan penutupan operasional pabriknya yang akan dilakukan secara permanen mulai 1 Maret 2025. Keputusan ini membuat heboh masyarakat, terutama para karyawan yang terkena dampak langsung, dengan total sekitar 10 ribu pekerja yang akan mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Penutupan Sritex menjadi sorotan publik setelah video peresmian pabrik tersebut oleh Presiden Soeharto pada tahun 1992 kembali viral di media sosial. Dalam video tersebut, Soeharto terlihat didampingi oleh Ibu Negara dan pemilik Sritex, Muhammad Lukminto. Peresmian ini dilakukan bersamaan dengan acara perluasan 275 usaha kelompok aneka industri dan menjadi momen penting dalam sejarah perusahaan tersebut.
Iwan Kurniawan Lukminto, Direktur Utama Sritex, menyampaikan rasa terima kasihnya kepada semua karyawan yang telah mendedikasikan waktu dan tenaga mereka selama puluhan tahun. “Kalau dihitung, para karyawan ini sudah bersama selama 21.382 hari sejak Sritex berdiri pada 16 Agustus 1966,” ujarnya di Semarang. Pernyataan ini menunjukkan betapa dekatnya hubungan antara perusahaan dan karyawan yang telah membangun sejarah bersama.
Di tengah proses kepailitan yang disebabkan oleh sejumlah faktor, termasuk persaingan yang ketat dan meningkatnya biaya produksi, Iwan juga menyampaikan dukungannya kepada para karyawan yang terdampak. “Kami berduka, namun kami harus terus memberi semangat,” tegasnya, saat melihat banyak karyawan menangis saat berpamitan dengan rekan-rekan kerja mereka. Video dari momen tersebut yang menunjukkan karyawan berpamitan sambil mengenakan seragam Sritex beredar luas dan menggugah emosi banyak orang.
Sejarah panjang Sritex dimulai pada tahun 1966 ketika HM Lukminto mendirikan perusahaan perdagangan tekstil dengan nama UD Sri Redjeki. Perusahaan ini terus berkembang, memproduksi kain mentah, dan menjelma menjadi salah satu pabrik tekstil dengan produk berkualitas tinggi. Memasuki era 1990-an, Sritex mulai merumuskan strategi untuk memasuki pasar ekspor dan menjadi pemasok bagi merek ternama dunia, termasuk di sektor militer.
Pelanggan globalnya merasa kehilangan dengan penutupan yang akan datang. Meskipun Sritex telah berhasil go public di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2013, keputusan untuk menutup pabrik mencerminkan tantangan yang tidak dapat dihindari dalam industri tekstil, seperti biaya produksi yang tinggi dan perlambatan permintaan di pasar.
Sebanyak 8 ribu karyawan di Kabupaten Sukoharjo dan total 12 ribu karyawan dari Sritex dan anak perusahaannya akan mengalami PHK. Untuk membantu proses transisi, manajemen perusahaan telah berkomitmen untuk bekerja sama dengan kurator guna memastikan hak-hak para karyawan tetap terpenuhi meskipun perusahaan menghadapi kepailitan.
Kisah penutupan Sritex bukan hanya tentang akhir dari sebuah perusahaan yang telah menjadi tulang punggung industri tekstil Indonesia, tetapi juga tentang orang-orang yang telah menghabiskan bagian besar dari hidup mereka untuk bekerja di pabrik ini. Sebagai simbol budaya industri, Sritex telah meninggalkan jejak yang mendalam dan kenangan tak terlupakan bagi banyak orang yang terlibat di dalamnya. Keputusan ini menjadi momen refleksi bagi industri lokal dan masyarakat untuk mengevaluasi masa depan sektor yang telah lama menjadi bagian integral dari perekonomian Indonesia.