
Wakil Presiden Amerika Serikat (AS) JD Vance menuai kritik tajam dari pemerintah China dan netizen setelah pernyataannya yang menyebut orang-orang China sebagai “buruh tani.” Pernyataan tersebut mengemuka dalam sebuah wawancara yang dilakukan Vance dengan stasiun televisi Fox News, dan langsung mendapatkan reaksi negatif baik di dalam negeri China maupun di media sosial.
Dalam wawancaranya, Vance berbicara tentang dampak ekonomi global, khususnya terkait dengan kebijakan tarif yang diterapkan oleh mantan Presiden Donald Trump. Ia mengklaim bahwa ekonomi globalis Amerika telah membawa negara tersebut pada satu kondisi di mana mereka terpaksa meminjam uang dari “buruh tani China” untuk membeli barang-barang yang diproduksi di negara tersebut. Ungkapan ini menciptakan kesan merendahkan terhadap masyarakat China, yang langsung menarik perhatian pemerintah China.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, menyampaikan keprihatinannya atas pernyataan Vance. Dia menyebutnya sebagai ungkapan yang “bodoh dan tidak sopan.” Menurut Lin, sangat mengherankan bahwa seorang wakil presiden AS berani melontarkan pernyataan begitu merendahkan terhadap warga negara lain. Dalam konteks ini, komentar Lin mencerminkan ketidakpuasan diplomatik dan mengecam tindakan Vance yang dianggap sebagai refleksi dari sikap arogan segelintir pejabat AS terhadap China.
Reaksi publik dari masyarakat China pun sangat signifikan. Video wawancara Vance menjadi viral di media sosial Weibo, dengan lebih dari 140 juta tayangan dalam waktu singkat. Banyak netizen membandingkan Vance dengan latar belakang sebagai politisi Partai Republik dan anggota senat yang dikenal dengan imej “desa.” Hu Xijin, mantan pemimpin redaksi Global Times, menjadi salah satu tokoh yang turut berkomentar, menyebut Vance sebagai sosok yang tidak memiliki pandangan luas. “Banyak orang mendesak dia untuk datang sendiri dan melihat China,” ujarnya.
Sebuah komentar lain di Weibo menekankan ironisnya pernyataan Vance, mengingat ia sendiri berasal dari latar belakang kelas pekerja. Dalam buku memoarnya, “Hillbilly Elegy,” Vance menceritakan masa kecilnya yang penuh tantangan, dari kemiskinan hingga masalah bagi keluarganya. Ini menambah dimensi baru pada pertanyaan tentang bagaimana seorang yang pernah mengalami kesulitan dapat merendahkan orang lain yang berada dalam situasi serupa.
Lebih jauh lagi, reaksi dari masyarakat terhadap komentar Vance menyoroti beberapa prestasi China dalam bidang teknologi dan infrastruktur. “Kita mungkin buruh tani,” tulis seorang pengguna Weibo, “tapi kita memiliki sistem kereta api berkecepatan tinggi terbaik di dunia, kemampuan logistik terhebat, dan teknologi kecerdasan buatan yang canggih.” Pernyataan tersebut menegaskan bahwa meskipun banyak orang di China bekerja dalam pertanian, kemajuan teknologi dan inovasi negara tersebut patut diakui dan dihargai.
Di tengah tantangan hubungan diplomatik yang semakin meningkat antara AS dan China, kasus ini menjadi cermin dari bagaimana pernyataan pejabat tinggi dapat memicu reaksi publik yang meluas. Sebagai seorang wakil presiden, Vance diharapkan dapat mempertimbangkan implikasi dari kata-katanya, terutama ketika membahas ekonomi dan masyarakat asing. Perspektif yang lebih inklusif dan pengertian terhadap keberagaman budaya serta latar belakang sosio-ekonomi dapat berkontribusi pada hubungan yang lebih harmonis antara kedua negara yang saling berkepentingan ini.
Dengan perkembangan terkini dalam hubungan diplomatik antara AS dan China, tren pernyataan yang merendahkan sering kali berujung pada protes dan kritik luas, menyoroti perlunya diplomasi yang lebih berhati-hati dan sensitif terhadap isu-isu yang berkaitan dengan identitas suatu bangsa.