Waspada! RI Berpotensi Jadi Target Perang Tarif Trump Selanjutnya

Jakarta – Indonesia kini berpotensi menjadi sasaran perang tarif yang dilancarkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Hal ini mengingat posisi Indonesia sebagai salah satu negara penyumbang defisit perdagangan yang signifikan bagi AS. Menurut data terbaru, Indonesia menempati urutan ke-15 sebagai negara penyumbang defisit perdagangan, dengan nilai defisit mencapai sekitar Rp 14,30 triliun atau setara dengan US$ 1,1 miliar.

Dalam pernyataannya, Staf Ahli Menteri Perdagangan Bidang Hubungan Internasional, Johni Martha, menyoroti bahwa kebijakan tarif yang diterapkan oleh Trump saat ini terutama menyasar negara-negara yang memberikan defisit perdagangan besar bagi AS. Saat ini, kebijakan tarif tinggi sudah diterapkan untuk produk-produk dari China, Kanada, dan Meksiko. Oleh karena itu, Johni memperingatkan bahwa Indonesia bisa jadi adalah target berikutnya.

“Sebagaimana kita ketahui, Donald Trump 2.0 ini telah menaikkan tarif impor untuk sejumlah produk asal China, Kanada, dan Meksiko. Meskipun sampai saat ini belum menyasar Indonesia, namun sepertinya hal tersebut hanya tinggal menunggu waktu,” jelas Johni dalam Seminar Dampak Perang Tarif Terhadap Peluang Ekspor Indonesia yang diselenggarakan di Menara Kadin, Jakarta Selatan.

Mengacu pada data yang disampaikan, defisit perdagangan Indonesia terhadap AS menciptakan potensi risiko bagi perekonomian dalam negeri jika Trump menerapkan tarif tinggi terhadap produk ekspor Indonesia. Kementerian Perdagangan pun telah mengidentifikasi berbagai kemungkinan non-tariff barriers yang dapat dikenakan AS, dan berupaya untuk meminimalkan dampak yang bisa ditimbulkan oleh kebijakan proteksionisme yang diterapkan oleh pemerintahan Trump.

Penting untuk dicatat bahwa, meskipun pemerintah Indonesia tidak akan mengadopsi kebijakan proteksionisme, ada beberapa komoditas tertentu yang Masih membutuhkan pasokan dari AS, seperti kedelai, gandum, dan apel. Johni menekankan pentingnya menjaga hubungan perdagangan yang saling menguntungkan dengan AS, tanpa menghalangi masuknya produk dari negara lain.

“Dengan Amerika, khususnya, kami tidak akan menganut jalan proteksionisme. Ini akan menjadi bumerang bagi kinerja ekspor Indonesia. Sebisa mungkin kami di Perdagangan tidak menghalangi produk-produk, baik dari India maupun Amerika,” sambung Johni.

Analisis kondisi ini menunjukkan adanya ketegangan yang mungkin dapat membahayakan banyak sektor perekonomian, terutama bagi Indonesia yang saat ini masih banyak bergantung pada komoditas tertentu dari AS. Dalam hal ini, penting bagi Indonesia untuk menemukan solusi dalam bentuk diversifikasi pasar dan memperkuat hubungan dagang dengan negara lain, agar tidak terlalu bergantung pada pasar AS.

Sebagai langkah antisipasi, pemerintah Indonesia juga berusaha untuk memperkuat daya saing produk lokal dan mempertimbangkan penggunaan produk substitusi lokal untuk mengurangi ketergantungan pada barang impor. Hal ini diharapkan dapat membantu Indonesia menghadapi fluktuasi dalam kebijakan tarif yang mungkin saja diterapkan oleh AS di masa depan.

Dalam konteks yang lebih luas, hubungan perdagangan antara Indonesia dan AS berpotensi mengalami perubahan besar jika tarif tinggi mulai diberlakukan. Langkah-langkah preventif dan pendekatan diplomatis diperlukan untuk menjaga iklim investasi dan perdagangan yang stabil. Mengingat bahwa perdagangan minyak dan gas juga menjadi salah satu aspek penting dalam hubungan bilateral tersebut, Indonesia tetap berupaya untuk meningkatkan perdagangan dengan AS di sektor-sektor strategis.

Dengan semua ini, Indonesia harus tetap waspada terhadap potensi dampak dari perang tarif yang가능 terjadi, serta terus beradaptasi dengan perubahan kebijakan perdagangan internasional yang dapat berpengaruh terhadap perekonomian dalam negeri.

Exit mobile version