KINSHASA, Podme – Republik Demokratik Kongo saat ini tengah menghadapi wabah virus baru yang misterius, yang hingga saat ini telah merenggut 53 nyawa. Penyakit ini muncul di beberapa wilayah di Kongo bagian barat dalam beberapa pekan terakhir, dan gejalanya mirip dengan penyakit demam berdarah.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan para ahli kesehatan sangat mengkhawatirkan potensi ganasnya virus ini, yang dapat dengan cepat mematikan penderitanya. Waktu yang dibutuhkan dari timbulnya gejala hingga menyebabkan kematian hanya sekitar 48 jam. WHO mencatat bahwa dalam epidemi terakhir ini, angka kematian mencapai 10,7 persen, di mana hampir setengah dari kasus kematian terjadi dalam jangka waktu yang sangat singkat setelah gejala awal muncul.
Pakar kesehatan khawatir bahwa jumlah sebenarnya korban tewas bisa lebih tinggi dari angka resmi, mengingat rendahnya tingkat pengujian yang dilakukan di daerah-daerah yang terdampak. Wabah ini merupakan epidemi virus terbaru yang melanda wilayah Afrika Timur, mengikuti kejadian sebelumnya seperti wabah Marburg dan mpox (cacar monyet).
Virus baru ini pertama kali terdeteksi pada Januari di sebuah desa terpencil bernama Boloko, yang terletak di Provinsi Equateur. Data dari WHO menunjukkan bahwa virus ini menginfeksi tiga anak yang diduga telah mengonsumsi bangkai kelelawar. Ketiga anak balita tersebut mengalami gejala demam, menggigil, dan sakit kepala, dan semuanya meninggal dalam waktu kurang dari dua hari setelah gejala muncul.
Patut dicatat bahwa empat kasus kematian tambahan dilaporkan di desa yang sama pada akhir Januari, dengan semua korban menunjukkan gejala yang serupa. Seiring berjalannya waktu, kasus baru kembali muncul, dan pada bulan Februari, wabah kedua terdeteksi di kota Bomate, yang agak jauh dari lokasi wabah awal.
Wabah virus ini menunjukkan gejala yang termasuk dalam kelompok penyakit yang dikenal sebagai demam berdarah virus (VHF), yang mengindikasikan terjadinya mual dan kehilangan darah dalam jumlah besar. Penyakit yang termasuk dalam kategori ini dapat mencakup Ebola, demam Lassa, dan virus Marburg.
Belum ada kejelasan mengenai penyebab pasti dari penyakit ini maupun cara penularannya. Beberapa ahli berpandangan virus ini kemungkinan merupakan zoonosis, yaitu penyakit yang berpindah dari hewan ke manusia. Hal ini diperkuat oleh laporan mengenai para korban awal yang mungkin telah mengonsumsi kelelawar, hewan yang dikenal sebagai pembawa patogen yang berbahaya bagi manusia.
Zania Stamataki, seorang profesor imunologi virus di Universitas Birmingham, menyatakan bahwa sulit untuk menentukan seberapa efektif manusia mampu melawan virus baru ini sampai identifikasi lebih lanjut dilakukan. Jika virus tersebut berasal dari kelelawar, ada kemungkinan masyarakat tidak memiliki kekebalan terhadap infeksi baru ini, yang dapat berujung pada penyakit parah atau bahkan kematian.
Namun, jika virus tersebut memiliki kemiripan dengan jenis virus lain yang sudah diketahui menginfeksi manusia, seperti virus penyebab Covid-19, ada kemungkinan beberapa orang dapat mengalami gejala yang lebih ringan dan dapat sembuh tanpa komplikasi serius.
Kondisi geografis serta iklim tropis di Kongo sangat rentan terhadap epidemi, dan ditambah dengan keberadaan hutan lebat yang memfasilitasi paparan masyarakat terhadap satwa liar, meningkatkan risiko penularan penyakit. Sejumlah penyakit virus yang berbahaya terus mengancam kesehatan masyarakat di negara ini, dan situasi ini memerlukan perhatian serius dari pemerintah serta lembaga kesehatan internasional.
Dengan meningkatnya jumlah kasus dan kematian akibat wabah virus ini, sangat penting bagi pihak berwenang untuk mempercepat pengujian dan pengembangan vaksin atau pengobatan guna menanggulangi potensi dampak yang lebih besar dari epidemi ini.