
Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, baru-baru ini mengungkapkan penyesalannya setelah Mahkamah Konstitusi negara tersebut mengesahkan pemakzulannya dengan suara bulat. Momen ini menandai Yoon sebagai presiden kedua dalam sejarah Korea Selatan yang dimakzulkan, setelah Park Geun Hye pada tahun 2017. Melalui pernyataannya yang disampaikan oleh pengacaranya, Yoon meminta maaf kepada rakyat Korea Selatan, mengekspresikan rasa terima kasihnya atas dukungan yang diberikan meskipun ia gagal memenuhi harapan rakyat.
“Merupakan kehormatan terbesar dalam hidup saya untuk mengabdi kepada negara ini. Saya sangat berterima kasih atas dukungan dan dorongan Anda yang tak tergoyahkan, bahkan ketika saya gagal,” ujar Yoon, seperti dikutip dari Yonhap pada Jumat (4/4/2025). Pernyataan ini ditegaskan beberapa jam setelah keputusan Mahkamah Konstitusi, yang menunjukkan respons cepat Yoon terhadap situasi politik yang berkembang.
Latar belakang pemakzulan Yoon dimulai pada 3 Desember 2024, ketika ia memberlakukan status darurat militer di Korea Selatan. Keputusan ini, yang berlaku hanya sekitar enam jam, menuai protes dari parlemen yang akhirnya memutuskan untuk membatalkannya. Ini merupakan titik kritis yang memicu pengajuan pemakzulan oleh kubu oposisi, yang menuduh Yoon terlibat dalam tindakan pemberontakan dan melanggar Undang-Undang Dasar.
Sebagai akibat dari pemakzulan ini, Yoon tidak hanya kehilangan jabatannya sebagai presiden, tetapi juga fasilitas-fasilitas negara yang umumnya diperoleh oleh mantan presiden. Diantaranya, Yoon tidak akan menerima uang pensiun sebesar 95 persen dari gaji terakhirnya, serta fasilitas seperti staf dan tunjangan perawatan medis. Selain itu, ia tidak akan diberikan tempat di pemakaman nasional, yang biasanya menjadi hak bagi mantan presiden yang menyelesaikan masa jabatannya dengan baik.
Meskipun demikian, Yoon akan tetap mendapatkan pengamanan sebagai mantan presiden. Namun, tingkat perlindungan yang akan diberikan akan diturunkan secara signifikan dibanding saat ia masih menjabat. Hal ini mencerminkan konsekuensi dari pemakzulan yang ia hadapi, di mana status dan reputasinya sebagai pemimpin negara mengalami perubahan drastis.
Dalam konteks pemakzulan Yoon, para pengamat politik menilai situasi ini sebagai refleksi dari ketidakstabilan politik yang terjadi di Korea Selatan. Ketegangan antara pemerintah dan parlemen yang dipimpin oleh kubu oposisi menunjukkan adanya polarisasi yang semakin dalam di dalam kehidupan politik negara tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemakzulan ini akan meninggalkan dampak yang signifikan tidak hanya terhadap karier politik Yoon, tetapi juga terhadap arah kebijakan dan stabilitas pemerintahan ke depan.
Kisah pemakzulan ini menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai masa depan politik Korea Selatan. Banyak yang bertanya-tanya siapa yang akan menggantikan posisi Yoon, dan bagaimana kubu oposisi akan memanfaatkan situasi ini untuk melanjutkan agenda politik mereka. Sementara itu, rakyat Korea Selatan akan terus mengamati perkembangan yang ada dengan harapan adanya pemimpin yang mampu memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat dengan lebih baik di masa mendatang.
Memperhatikan dinamika ini, Yoon Suk Yeol akan menghadapi tantangan besar dalam menjalani hidupnya pasca-pemakzulan. Ia mesti berhadapan dengan realitas baru di mana dukungannya terpatahkan, dan reputasinya sebagai pemimpin sedang dalam sorotan. Upaya untuk merehabilitasi posisinya di mata publik akan menjadi tantangan tersendiri, terlebih dengan stigma pemakzulan yang melekat padanya.